Arti Thaharah Dengan Berbagai Jenis Air Untuk Menyucikan Diri
Kaum Muslimin sangat memperhatikan masalah thaharah, tharah sendiri berati dan bermanfaat untuk Menyucikan diri. Banyak buku yang mereka tulis tentang hal itu. Mereka melatih dan mengajar anak-anak mereka berkenaan dengan thaharah. Ulama fiqh sendiri menganggap thaharah merupakan satu syarat pokok sahnya ibadah Tidaklah berlebihan jika saya katakan tidak ada satu agama pun yang betul-betul memperhatikan thaharah seperti agama Islam.
image source : accenture.com |
Pengertian Thaharah
Bersuci (dalam arti thaharah) adalah membersihkan diri, pakaian dan tempat dari segala hadas dan najis. Untuk suci dari hadas haruslah melakukan wudhu, mandi wajib, atau tayammum. Sedangkan agar suci dari najis haruslah menghilangkan kotoran yang ada di badan, atau tempat-tempat yang bersangkutan.
Perintah bersuci ini tersurat pada bagian akhir ayat 222 dari surat Al-Baqarah:
"Sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang bertaubat dan orang-orang yang menyucikan diri."
Thaharah artinya menurut bahasa berarti berşih. Menurut istilah fuqaha (ahli fiqh) berarti membersihan hadas atau menghilangkan najis, yaitu najis jasmani seperti darah, air kencing., dan tinja. Hadas secara maknawi berlaku bagi manusia. Mereka yang terkena hadas ini terlarang untuk melakukan shalat, dan untuk menyucikannya mereka wajib wudhu, mandi, dan tayammum
Thaharah dari hadas maknawi itu tidak akan sempurna kecuali dengan niat taqarrub dan taat kepada Allah SWT. Adapun thaharah dari najis pada tangan, pakaian, atau bejana, maka kesempurnaannya bukanlah dengan niat. Bahkan, jika secarik kain terkena najis lalu ditiup angin dan Jatuh ke dalam air yang banyak, maka kain itu dengan sendirinya menjadi Suci.
Bagian Didalam Thaharah
A. Hadas
Hadas menurut kamus istilah Agama karya Drs. Shodiq se. adalah suatu keadaan tidak suci yang tidak dapat dilihat, tetapi wajib disucikan untuk syarat sahnya ibadah.
Hadas dibagi dua :
- Hadas kecil. Penyebabnya antara lain keluar sesuatu dari dubur (kentut atau buang air) dan qubul (kencing), menyentuh lawan jenis yang bukan muhrimnya, dan tidur nyenyak dalam keadaan tidak tetap.
- Hadas besar/jenabat/junub. Penyebabnya antara lain kelauar air mani, bersetubuh, wanita habis menstruasi atau melahirkan dan sebagainya.
B. Najis
Najis adalah suatu benda kotor menurut syara' (hukum agama), Benda-benda najis meliputi ;
- Darah
- Nanah
- Bangkai, kecuali bangkai manusia, ikan laut dan belalang
- Anjing dan Babi
- Segala sesuatu yang keluar dari dubur atau qubul
- Minuman keras
- Bagian anggota binatang yang terpisah karena dipotong sewaktu masih hidup
C. Istinja
Bersuci (cebok) setelah buang air kecil atau air besar dinamakan istinja'. Dalam hal ini boleh memakai air atau dengan tiga buah batu.
Hukum Istinja (cebok) adalah wajib. Bagi yang tidak melakukannya, maka berdosa. Ketika Rasululah saw. melewati dua kubur, beliau bersabda,
"Dua orang yang ada didalam kubur ini disiksa. yang seorang disiksa karena mengad-ngadu orang, dan yang seorang lagi karena tidak bersuci dari kencingnya. (sepakat ahli hadis)
D. Wudhu
Wudhu adalah salah satu cara bersuci dari hadaas kecil sebelum menegerjakan ibadah shalat atau membaca Alquran. Perintah wajib wudhu ini turun bersamaan dengan perintah wajibnya shalat.
E. Mandi Wajib dan Sunnah
Mandi wajib adalah kehaarusan mandi sebagai seuatu cara untuk bersuci bagi seseorang yang menanggung hadas besar atau sedang junub. Firman Allah :
"Apabila kamu junub, maka mandilah/bersuci." (QS. Al Maidah : 6)
F. Tayammum
Tayammum merupakan alternatif atau cara lain untuk bersuci, dengan syarat-syarat yang menyertainya. Yaitu tidak terdapatnya air untuk wudhu/bersuci dan mendapat sesuatu atau penyakit yang tidak memungkinkan untuk berentuhan dengan air.
Jenis Air Untuk Thaharah
Thaharah dari hadas dan najis itu menggunakan air, sebagalmana firman Allah SWT :
"dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu (Q.S. Al-Anfal: 11)
"dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih (O.S. Al-Furqan: 48)
Air yang dapat dipakai bersuci adalah air bersih dari laut atau air yang keluar dari bumi dan belum dipakai, yaitu air sumur, air sungai, air telaga, air hujan, air embun dan air salju.
Ditinjau dari hukumnya, air dibagi menjadi empat :
1. Air Mutlak
2. Air Musyammas
3. Air Musta'mal
4. Air Mutanajis
Thahur (pada ayat di atas) berarti suci pada dirinya sendiri menyucikan yang lain. Para ulama membagi air menjadi dua macam berdasarkan banyak sedikitnya atau berdasarkan keadaannya, yaitu
a. Air Muthlaq dan Air Musta 'mal
b. Air Mudhaf
Air Muthlaq
Air muthlaq ialah jenis air untuk thaharah merupakan air yang menurut sifat asalnya, seperti air yang turun dari langit atau keluar dari bumi: Air hujan, air laut, air sungai, air telaga, dan setiap air yang keluar dari bumi, salju atau air beku yang mencair. Begitu juga air yang masih tetap namanya walaupun berubah karena sesuatu yang sulit dihindari, seperti tanah, debu, atau sebab yang lain seperti kejatuhan daun, kayu, atau karena mengalir di tempat yang asin atau mengandung belerang, dan sebagainya.
Menurut ittifaq (kesepakatan) ulama, air muthlaq itu suci dan menyucikan. Adapun yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar, bahwa tayammum lebih disukai daripada air laut, riwayat itu bertentangan dengan hadis Nabi yang berbunyi
"Siapa yang tidak dibersihkan oleh air laut, maka Allah tidak membersihkannya."
Air Musta'mal
Apabila kita membersihkan najis dari badan, pakaian, atau bejana dengan air muthlaq, lalu berpisahlah air bekas basuhan itu dengan sendirinya atau dengan jalan diperas, maka air yang terpisah itu disebut air musta'mal. Air semacam itu hukumnya najis, karena telah bersetuhan dengan benda najis, meskipun air itu tidak mengalami perubahan apapun. Air itu tidak dapat digunakan lagi untuk membersihkan hadas atau najis
Para ulama mazhab berkata: Apabila air berpisah dari tempat yang dibasuh bersama najis, maka air itu hukumnya menjadi najis. Kalau air itu berpisah tidak bersama najis, maka hukumnya bergantung pada tempat yang dibasuh. Jika tempat itu bersih, maka air itu pun suci.
Sebaliknya, jika tempat itu kotor, maka air itu pun kotor. Hal itu tidak dapat dipastikan melainkan kita memperhatikan lebih dahulu tempat aliran air yang bersangkutan. Kalau hal itu tidak mungkin dilakukan, maka dianggap bahwa tempat yang dilalui air atau dibasuh itu bersih, sedangkan air yang terpisah dari tempat itu hukumnya najis.
Air musta'mal yang telah digunakan untuk berwudhu atau mandi sunnah, seperti mandi taubat dan mandi jum'at, hukumnya suci dan menyucikan untuk hadas dan najis ; artinya air itu dapat digunakan untuk mandi wajib, berwudhu, atau menghilangkan najis. Adapun air musta'mal yang telah digunakan untuk mandi wajib, seperti mandi junub, dan mandi setelah haid, maka ulama Imamiyah sepakat bahwa air itu dapat menyucikan najis tetapi berbeda pendapat tentang dapat tidaknya air itu digunakan untuk menghilangkan hadas dan berwudhu, sebagian mereka membolehkan dan sebagian lain melarang
Catatan :
Apabila orang yang berjunub menyelam ke dalam air yang sedikit dengan maksud thaharah atau menyucikan diri, setelah ia menyucikan tempat yang terkena najis, dengan niat membersihkan hadas, maka menurut Imam Hambali air itu menjadi musta'mal dan tidak menghilangkan janabah, malah orang itu wajib mandi lagi. Sedangkan Syafi'i, Imamiyah dan Hanafi berpendapat bahwa air itu menjadi musta'mal tetapi menyucikan janabah orang tersebut, sehingga ia tidak wajib mandi lagi[1]
Air Mudhaf
Air Mudhaf ialah air perahan dari suatu benda seperti limau, tebu, Sagu, atau air yang muthlaq pada asalnya, kemudian bercampur dengan benda-benda lain, misalnya air Dunga, Air semacam itu Suci, tetapi tidak dapat menyucikan najis dan kotoran. Pendapat ini merupakan ke-sepakatan semua mazhab Kecua Hanafi yang membolehkan bersuci dari najis dengan semua cairann, Selain minyak, tetapi dengan sesuatu yang berubah karena dimasak. Pendapat ini sesusai dengan pendapat Asy-Syahid Murtadha dari Imamiyah.[2]
Semua mazhab, kecuali Hanafi, juga sepakat tentang tidak bolehnya thaharah atau berwudhu dan mandi dengan air mudhaf, seperti yang disebutkan oleh Ibnu Rusyd di dalam kitab Bidayah Al-Mujtahid wa Nihayah Al-Muqtashid dan kitab Majma' Al-Anhar
Hanafi berkata "Seseorang musafir harus (boleh) berwudhu dengan air perahan dari pohon kurma."
Ibnu Qudamah menyebutkan[3] : bahwa mazhab Hanafi membolehkan berwudhu' dengan air mudhaf. Syaikh Shadiq dari Imamiyah berkata"Sah berwudhu dan mandi junub dengan air mawar."
Hanafi mengambil dalil atas pendapatnya bahwa air mudhaf boleh digunakan untuk berwudhu - dari ayat Al-Qur'an:
"Maka jika tidak ada air, hendaklah kamu tayammum dengan debu yang bersih." (Q.S. Al-Maidah : 6)
Menurut Hanafi, makna ayat itu sebagai berikut: Jika tidak ada air muthlaq dan air mudhaf, maka tayammum tidak diperbolehkan. Mazhab lain mengambil dalil dengan ayat ini juga untuk melarang pemakaian air mudhaf untuk berwudhu. Mereka berkata, bahwa kata al-ma'udi dalam ayat itu maksudnya air mudhaf. Dengan demikian, maksud ayat di atas (Al-Maidah: 6) adalah :
"Apabila tidak ada air muthlaq, maka tayammumlah....."
Air Musyammas
Air Musyammas adalah air suci yang dapat dipakai untuk mensucikan, namun makruh digunakan. Misalnya air bertempat dilogam yang bukan emas dan terkena panas matahari.
Air Mutanajis
Air Mutanajis yaitu air yang terkena najis dan jumlahnya kurang dari dua kullah (216 Liter). Karenanya air tersebut tidak suci dan tidak dapat dipakai mensucikan. Akan tetapi jika jumlahnya lebih dari dua kullah serta tidak berubah warna, rasa dan baunya, maka bisa digunakan untuk bersuci.Catatan Kaki
[1]Ibnu Qudamah:A-Mughni I hal, 22 cetakan ketiga dan lbnu Abidin 1, hal. 140cetakan Al-Maimaniyah.[2]lbnu Rusyd, Bidayat AL-Mujtahid hal. 32, cetakan 135 H. Dan kitab Majma Al halnhar hal 37, cetakan Istambul.
[3]Ibn Qudamah Al-Mughni 1, hal. 12.