Tempat Ruh Dan Hubungannya Dengan Jasad

Tempat Ruh Dan Hubungannya Dengan Jasad

Tempat Ruh Dan Hubungannya Dengan Jasad - Apakah hubungan ruh dan jasad berlangsung sama atau berbeda-beda?

Tempat Ruh Dan Hubungannya Dengan Jasad


Ruh membawa kehidupan bagi jasad 

ruh semakna dengan nas yang memberi hidup kepada manusia:


ٱللَّهُ يَتَوَفَّى ٱلْأَنفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَٱلَّتِى لَمْ تَمُتْ فِى مَنَامِهَا ۖ فَيُمْسِكُ ٱلَّتِى قَضَىٰ عَلَيْهَا ٱلْمَوْتَ وَيُرْسِلُ ٱلْأُخْرَىٰٓ إِلَىٰٓ أَجَلٍ مُّسَمًّى
 

Allah memegang nafs orang ketika matinya dan memegang nafs orang yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah nafs orang yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan nafs yang lain sampai waktu yang ditentukan" (Q.S. az-Zumar [39]: 42).

Dari pengertian-pengertian di atas terlihat ada benang merah yang menghubungkan satu pengertian dengan pengertian lain: kata rüh merupakan pemberi daya hidup dan atau pemberi makna hidup bagi manusia. Karena itu, hidup tak bisa lepas dari ruh. Tanpa ruh, hidup tidak mungkin ada. Demikian pula, tanpa wahyu (Alquran) hidup tidak akan memiliki makna, tanpa rahmat (kasih sayang) hidup akan hampa, dan seterusnya.


Ibn Qayyim al-Jawziyyah menuturkan, ruh itu disebut demikian karena ia membawa kehidupan bagi jasad, seperti kata rîh (angin) yang juga mendatangkan kehidupan bagi makhluk. Dari situ pula nanti muncul kata rawh (rahmat) dan ráhah atau istirahah (istirahat), karena ia Juga memberikan kontribusi bagi kehidupan. Kehidupan di muka bumi ini tidak mungkin ada tanpa angin. Kehidupan juga akan sirna kalau tanpa rahmat dan istirahat dari kelelahan sepanjang hari.

Tempat Ruh

Ruh punya empat tempat. Dalam kandungan ibu, dalam kehidupan dunia, dalam alam barzakh atau alam kubur dan pada hari bangkit (yaumul baath). Semuanya berbeda-beda.
 

Hubungan roh dan jasad pada hari akhirlah yang abadi dan paling tinggi.
 

Di dunia kalau kita makan atau minum akan meninggalkan sisa yang harus dibuang, jika tidak akan menjadikan penyakit, ujudnya kotoran atau kencing. Tetapi di surga, makan atau minum tidak menjadi kotoran. Yang ada hanya keringat berbau harum. Hukum Allah merubah semua itu.
 

Firman-Nya:

وَنَزَعْنَا مَا فِى صُدُورِهِم مِّنْ غِلٍّ تَجْرِى مِن تَحْتِهِمُ ٱلْأَنْهَٰرُ

"Dan kami cabut segala macam dendam yang berada di dalam dada mereka, mengalir di bawah mereka sungai-sungai". (AL Araaf 43).

Di surga jiwa tidak diwajįbkan melakukan tugas-tugas, termasuk tugas ibadah, Tidak ada rasa sedih, susah, lelah dari bergaul dengan istri, walaupun seratus kali sehari. Ringkasnya, perubahan hubungan itu yaitu:

  1. Dalam kandungan ibu, di sini jasad tidak hidup tetapi berkembang.
  2. Dalam kehidupan dunia (berbeda antara tidur dan sadar) 
  3. Dalam alam barzah, di sini roh bergabung dengan jasad untuk menerima pertanyaan kubur dan secara masing-masing (roh dan jasad) merasakan siksa atau bahagia.
  4. Yang paling akhir yaitu dalam surga atau di nereka.


Hubungan Ruh dan Jasad DiDunia

Dalam sebuah kisah klasik diceritakan, ada seorang anak yang dikirim oleh orang tuanya untuk belajar ke luar daerah. Setelah lama belajar dan pengetahuannya telah banyak dan sudah mapan, dia kembali ke kampung halamannya dengan bangga karena telah memiliki segudang ilmu yang tidak dimiliki oleh orang sekampungnya.
 

Melihat gelagat kesombongan demikian, sang ayah kurang simpati terhadap sikap putranya itu. Dia memanggil putranya agar duduk di sampingnya sembari berkata, " Wahai anakku, telah jauh perJalananmu dalam menuntut ilmu, telah banyak ilmu dan pengalaman yang kau timba. Akan tetapi, masih ada yang belum engkau temukan. Maukah engkau kutunjukkan ilmu itu?"
 

"Tentu saja," jawab sang anak.
 

"Coba kamu bawa ke sini sesendok gula pasir!"
 

"Saya penuhi perintah Ayah."
 

"Masukkan gula itu ke dalam air!"
 

"Saya laksanakan, Ayah."
 

"Kocok sampai gula itu larut!"
 

"Saya lakukan, Ayah."
 

"Apa yang engkau saksikan wahai anakku?"
 

"Air!"
 

"Coba cicipi air itu, lalu rasakan pada lidahmu, bagaimana rasanya?
 

"Rasanya manis."

 

"Pada bagian mana air itu yang manis? Atas, tengah, atau bawah?"
 

"Semuanya."
 

"Dapatkah engkau bedakan antara air dan manisnya?
 

"Tidak!"
 

"Tidak pernahkah engkau diajarkan ilmu ini di perguruanmu?"
 

"Tidak, Ayah!"
 

Begitulah raga badan ditempati oleh ruh, ruh itu sendiri tidak kelihatan. Yang kita saksikan ialah jasad yang hidup, bergerak, berpikir, dan merasa.
 

Mengapa kita bisa berpikir? Tidak lain adalah karena ada ruh di dalam jasad kita. Ruh memancarkan sinarnya kepada otak, lalu otak dengan sel-selnya menerima cahaya itu dan bergerak menjalankan fungsi ruh, memikirkan berbagai objek, baik diri kita sendiri maupun sesuatu di sekitar kita. Begitu ruh memancarkan sinarnya kepada kalbu, kita pun merasa, kita gembira, bersedih, mencintai, membenci, dan sebagainya. 

Demikianlah ruh memberikan hidup dan makna kehidupan bagi jasad, dia ada disegenap penjuru jasad.
 

Oleh sebab itu, jika ada satu bagian jasad yang sakit, itu berarti satu bagian ruh yang sakit. Jasad sendiri sebenarnya tidak merasakan sakit, tetapi mengapa kita katakan sakit? Itu tidak lain karena ada ruh di dalam jasad. Kalau tidak ada ruh, jasad tidak akan merasa kesakitan.
 

Ruh bukan hanya sumber hidup, tetapi juga sumber cahaya benderang yang terpantul langsung dari Cahaya Ilahi, la menjadi pelita bagi kehidupan manusia. Sementara jasad adalah gelap yang menyesatkan sepekat tanah asalnya. Di antara ruh dan jasad ada jiwa (nafs) yang mengantarai keduanya.
 

Jiwa yang paling banyak didominasi oleh tabiat jaSadi akan senantiasa dalam kegelapan, tetapi JIwa yang mendapat banyak pancaran dari ruh, ía akan tercerahkan dan berada dalam kecemerlangan hakiki
 

Makanan Ruh

Seperti tubuh, ruh pun memerlukan makanan. Mulla Shadra tidak menyebutnya makanan, melainkan rezeki. Ja berkata, "Setiap yang hidup perlu rezeki, dan rezeki arwah adalah cahaya-cahaya ilahiah dan ilmu-ilmu rabbaniyah."
 

Untuk meningkatkan kualitas ruh, supaya sehat dan kuat, kita perlu memberikan kepadanya cahaya-cahaya Ilahiah dalam bentuk zikir, doa, dan ibadah-ibadah lainnya seperti shalat, puasa, dan haji.

Ruh Menurut Filsuf dan Sufi

Di kalangan sufi, ruh tidak didefinisikan, tetapi ia dilihat sebagai alat bagi manusia dalam berhubungan dengan Tuhan. Jika al-Ghazali membincangkan ruh dalam Ihyå Ulüm al-Din, hal itu dalam bingkai hubungan manusia dengan Tuhan. Untuk itu, ia membedakan ruh atas dua kategori. 

Pertama, yang berhubungan dengan jasad. Ruh ini berhubungan erat dengan jantung. la beredar bersama Peredaran darah. Kalau detak jantung sudah berhenti, maka berakhir pulalah ruh ini. Ruh dalam kategori ini pula yang menjadi sumber pengindraan, la laksana cahaya yang memancar dari sebuah pelita ke segenap penjuru rumah. Ruh dalam kategori ini, papar al-Ghazâlî, bukan tujuan kita. Ruh yang menjadi sasaran tasawuf ialah ruh dalam kategori kedua berikut ini.
 

Kedua, ruh sebagai sesuatu yang halus dalam diri manusia, yang memungkinkan mengetahui dan mempersepsi (al-lathifah al- alimah al-mudrikah minal-insân). la sama dengan pengertian hati sebagai sesuatu yang halus, yang memiliki sifat ketuhanan dan keruhanian (lathifah rabbàniyyah rahâniyyah).
 

Ruh dalam kategori pertama adalah pemberi hayat bagi tubuh. Sedangkan ruh dalam kategori kedua adalah pemberi makna bagi kehidupan manusia. Inilah yang terungkap dari puisi Sa'di:
Jasad manusia mulia karena ruhnya Tubuh yang indah bukanlah tanda kemanusiaan Jika manusia itu disebut manusia karena mata, telinga, atau lidahnya Maka apa bedanya antara manusia dan gambar manusia didinding.
 

Meski tak terpisah dari tubuh, ia diciptakan bukan seasal dan tidak sama dengan tubuh. Inilah yang tersirat dalam firman Allah:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ

Artinya :
Dan ingatlah, ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak turunan Adam dari Sulbi mereka (seraya berfirman), Bukankah Aku Tuhanmu? Mereka menjawab, Benar (Engkau Tuhan kami]' (Q.S. al-A' raf 7: 172).

Dengan demikian, sejak awal penciptaannya, ruh telah memiliki pengetahuan tentang Tuhan. Bahkan, al-Junayd al-Baghdâdi (w. 297 H/910 M) melihat bahwa pengetahuan demikian adalah pengetahuan primordial manusia, sehingga ruh dalam wujudnya itu dia sebut dengan al-Wujtd al-Rabbáni Akan tetapi, pengetahuan demikian tertutup ketika ruh menyatu dengan jasad, tertutup oleh tabiat-tabiat jasadi yang menariknya ke asal-usul jasad.
 

Jasad diciptakan dari materi tanah. Karena itu, memiliki sifat-sifat ketanahan yang senantiasa akan jatuh ke bawah, kasar, kotor, dan sebagainya. Berbeda dengan ruh, karena dia berasal langsung dari Ruh Mutlak, maka ia senantiasa rindu untuk kembali ke asalnya.
 

Jadi, ruh bersifat ilahiah dan senantiasa rindu kepada kesucian. Puncak kesucian itu sendiri ialah Tuhan Yang Mahasuci.
 

Dengan demikian, puncak kerinduan ruh ialah bertemu dengan Zat Yang Mahasuci. Karena itulah kaum sufi menyebut ruh sebagai lokus cinta ilahi, sedangkan kalbu adalah lokus makrifat, dan sirr (lapisan-hati-terdalam) lokus penyaksian akan Tuhan (musyålhadah).
 

Dengan demikian, ruh merupakan motor penggerak dalam pendekatan diri kepada Tuhan. Bahkan, menurut kaum sufi, ruh adalah penggerak ke arah kebaikan pada umumnya. Kecintaan ruh kepada Tuhan telah melahirkan suatu hasrat dan daya yang terarah kepada satu titik sentral, yakni Tuhan sebagai Kebaikan Mutlak.