Syarat-Syarat Melakukan Shalat Qashar

Syarat-Syarat Melakukan Shalat Qashar

Syarat-Syarat Melakukan Shalat Qashar

Seorang Muslim yang hendak berpergian dapat melakukan sholatnya dengan shalat qashar, namun saat sebelum melakukannya harus memperhatikan syarat-syarat sah shalat qashar. Dibawah ini adalah syarat menurut hadis dan ijma para ulama mazhab.

 

syarat melakukan shalat qashar



1. Perjalanan yang dilakukan itu bukan maksiat (terlarang);  

adakalanya perjalanan wajib seperti pergi haji, atau sunnat seperti bersilaturahmi, atau harus (mubah) seperti pergi berniaga.
Perjalanan itu haruslah perjalanan yang mubah. Kalau perjalanan itu adalah perjalanan haram, misalnya untuk mencuri atau lainnya yang serupa, maka seluruh ulama sepakat tidak boleh qashar, kecuali ulama Hanafi.


Mereka mengatakan: Qashar boleh dilakukan dalam segala keadaan, walaupun dalam perjalanan yang haram. Perbuatan itu saja yang tetap dianggap haram.

Perjalanan itu berjarak jauh terhitung jauh dari 80,640 km atau lebih (perjalanan sehari-semalam).


2. Jarak Perjalanan

Sabda Rasulullah saw:

"Tidak diizinkan seorang perempuan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian untuk bepergian sejauh perjalanan sehari semalam, melainkan bersama-sama muhrimnya". (HR. Jama'ah, kecuali Nasai).


Sebagian ulama berpendapat: Tidak disyaratkan perjalanan jauh, tetapi asal dalam perjalanan, jauh atau dekat. Sabda Rasulullah saw:

"Dari Syu' bah, katanya: Saya telah bertanya kepada Anas tentang mengqasar sembahyang. Jawabnya: Rasulullah Saw apabila beliau berjalan tiga mil (8,64 KM) atau tiga parsakh (25,92 KM) beliau sembahyang dua raka'at." (HR. Ahmad, Muslim dan Abu Dawud).

Jarak qashar menurut mazhab Hanafi: 24 fursakh pergi saja. Kurang dari jumlah tersebut tidak boleh qashar, Menurut Imamiyah: 8 farsakh pergi, atau jumlah jarak pulang pergi, dengan catatan kembali pada siang atau malamnya, sebab dengan demikian perjalanan itu telah menyibukkannya sehari penuh. Dan sebagian ulama Imamiyah mengatakan juga bahwa orang wajib mengqashar shalatnya jika bermaksud akan kembali sebelum sepuluh hari.


Sedangkan menurut mazhab Hambali, Maliki dan Syafi'i: Jarak yang dibolehkan meng-qashar itu adalah 16 farsakh pergi saja. Dan diperbolehkan kalau jarak itu kurang dua mil dari jumlah yang ditentukan. Bahkan Maliki mengatakan: Diperbolehkan kalau kurang 8 mil dari jumlah jarak yang ditentukan tadi.


Satu farsakh adalah 5040 meter, demikian menurut AL-Fighu 'al A-Madzadhib Al-Arba'alh, Jilid IV, bab mabhats syurutul qashar. Berdasarkan hitungan ini, maka jarak yang telah ditetapkan oleh mazhab Hanafi dalam syarat qashar ini adalah: 107.5 km ditambah 20 meter. Dan menurut ketiga mazhab lainnya adalah: 80,5 kilometer ditambah 140 meter. Sedangkan menurut Imamiyah: 40 kilometer ditambah 320 meter.


3. Sembahyang yang di qashar itu, sembahyang adaan (tunai), 

bukan sembahyang qadha. Adapun sembahyang yang ketinggalan di waktu berjalan boleh di qasar kalau di qadha dalam perjalanan, tetapi yang ketinggalan sewaktu muqim tidak boleh diqadha dengan qasar sewaktu dalam perjalanan.
Tidak boleh meng-qashar shalat kecuali bila sudah meninggalkan bangunan kota (tugu batas). 

Demikian pendapat empat mazhab. Sedangkan Imamiyah berpendapat: Hal itu masih cukup, tetapi harus benar-benar jauh dari bangunan kota sehingga tidak tampak oleh pandangan lagi serta sudah tak kedengaran lagi suara adzannya. Batasan yang ditetapkan oleh mereka bagi permulaan safar itu, juga menjadi batasan untuk akhir safar juga. Jika seseorang kembali ke kotanya, ia masih wajib meng-qashar shalatnya, hingga tampak bangunan kota atau mendengar suara adzannya.


4. Shalat yang diqashar itu empat raka'at.

Shalat yang bisa dikerjakan dengan Qashar adalah yang berbilang empat, yaitu : Dzuhur. ashar dan isya


5. Niat mengqashar pada saat takbiratul ihram. 

Harus berniat menempuh jarak yang telah ditetapkan itu dari mulai berangkatnya.


Demikian menurut kesepakatan ulama. Orang yang mengikuti, seperti istri, pelayan, budak, dan serdadu harus mengikuti niat pemimpin mereka, dengan syarat mengetahui niat pemimpinnya, kalau tidak mengetahui maka mereka wajib tetap melaksanakan shalat secara sempurna.


Hendaklah berniat qashar pada shalat yang dilaksanakannya, kalau tidak, maka harus dilakukan dengan sempurna. Demikian menurut mazhab Hambali dan Syafi'i. Sedangkan menurut mazhab Maliki: Niat qashar itu cukup pada permulaan shalat qashar yang dikerja kan dalam perjalanannya, dan tidak harus membaruinya pada tiap-tiap shalat. Hanafi dan Imamiyah mengatakan: Niat qashar itu bukan merupakan syarat dalam wajib qashar. Kalau seorang tidak berniat qashar; maka ia wajib shalat sempurna. Sebab hukum tidak berubah karena niat, dan karena ia telah berniat safar dari permulaan. Namun pihak Imamiyah menambahkan: Jika seorang musafir berniat akan mukim di suatu tempat, kemudian niatnya berubah, maka ia wajib shalat qashar sepanjang ia belum mengerjakan shalat secara sempurna, sekalipun hanya satu shalat. Tapi kalau ia sudah mengerjakan shalat tamam (sempurna) sekalipun hanya satu kali, lalu niatnya berubah (tidak jadi menetap) maka ia tetap harus melakukan shalat tamam (sempurna).


6. Tidak boleh berniat akan menetap selama lima belas hari berturut-turut, 

demikian menurut mazhabHanafi. Atau sepuluh hari menurut Imamiyah, atau empat hari menurut Maliki dan Syafi'i, atau masa wajib atasnya lebih dari dua puluh shalat menurut Hambali.


Dan Imamiyah menambahkan: Apabila seseorang tidak berniat menetap, dan ia bimbang kapan selesai urusannya, maka ia wajib meng-gashar shalatnya hingga tiga puluh hari. Dan setelah itu dia diwajibkan qashar, walaupun hanya satu shalat.


Tidak berma'mum kepada orang yang tidak shalat mengqashar. Orang yang sedang dalam perjalanan (musafir) tidak boleh bermakmum kepada orang tidak dalam perjalanan (mukim), atau kepada musafir yang mengerjakan shalat dengan teman (sempurna).


Kalau dilakukannya juga, maka ia harus mengerjakan shalat dengan sempurna, demikian menurut empat mazhab. Namun mazhab Imamiyah mengatakan Orang yang shalat sempurna boleh bermakmum kepada yang shalat qashar dan sebaliknya dengan catatan masing-masing melaksanakan kewajibannya.
Misalnya seorang musafir shalat di belakang (bermakmum kepada) orang yang mukim dalam shalat Dzuhur atau Ashar atau Isya', maka ia melakukan shalat dua raka'at bersama Imam, membaca tasyahhud bersama Imam, lalu memberi salam sendiri. Sedangkan Imam meneruskan shalatnya hingga selesai. Dan kalau orang yang mukim shalat dibelakang musafir, ia shalat dua raka'at bersama Imam, kemudian ia menyelesaikan shalatnya yang tersisa sampai selesai.


7. Pekerjaan musafir itu menuntut untuk tidak sering bepergian

seperti sebagian pedagang yang usahanya menuntut selalu bepergian, dan jarang menetap ditempat tinggalnya. Syarat ini hanya terdapat pada mazhab Hambali dan Imamiyah saja, sedang pada mazhab lainnya tidak.


8. Rumah tinggalnya harus berbeda 

Rumah tinggalnya harus berbeda dengan golongan yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, yang selalu berpindah-pindah tempat. Syarat ini hanya dikemukakan oleh Imamiyah saja.


9. Saat Membatalkan Perjalanan

Hanafi, Hambali dan Maliki mengatakan: Jika seorang musafir pulang dari perjalanannya, dan bermaksud kembali ke tempat ia berangkat dari perjalanannya, maka dalam hal ini harus diperhatikan, jika ia melakukan sebelum menempuh jarak qashar, maka batallah perjalanannya, dan wajib atasnya menyempurnakan shalat. Dan jika ia telah menempuh jarak yang telah ditetapkan syara', maka ia boleh meng-qashar hingga kembali ke negerinya.


Sedangkan Syafi'i mengatakan: Bilamana terlintas dalam benaknya hendak kembali di tengah-tengah perjalanannya, maka ia harus menyempurnakan shalatnya. (Demikian disebutkan oleh al-Ghazali dalam kitab al-Wajiz bab shalat musafir), Artinya adalah, bahwa ia harus menyempurnakan shalatnya, sekalipun ia telah menempuh jarak yang diizinkan meng-qashar shalat.


Imamiyah mengatakan:
Jika seseorang bermaksud membatalkan perjalanannya, atau merasa bimbang sebelum menempuh jarak yang mewajibkannya qashar, maka ia wajib menyempurnakan shalatnya. Tetapi kalau ia sudah menempuh jarak qashar, maka ia wajib meng-qashar, shalatnya.


10. Niat

Kelangsungan niat safar itu termasuk syarat selama belum menempuh jarak yang ditetapkan. Apabila jarak qashar itu sudah ditempuh, maka tidak tergantung lagi pada niat.


Seluruh ulama sepakat bahwa semua syarat yang ditetapkan untuk qashar, menjadi syarat pula bagi bolehnya membatalkan puasa. Dan sebagian mazhab menambahkan syarat lain bagi bolehnya berbuka puasa itu, yang akan dijelaskan pada bab puasa. Sedang Imamiyah tidak menambahkan apa-apa, mereka mengatakan: Orang yang berbuka, wajib qashar, orang yang meng-qashar wajib berbuka.