Hukum-hukum Dan Masalah Dalam Tayammum

Hukum-hukum Dan Masalah Dalam Tayammum

 Hukum-hukum Dan Masalah Dalam Tayammum



Disebabkan oleh beberap kondisi tertentu, maka terdapat beberapa masalah dan hukum-hukum yang mengatur dalam tayamum 

 

hukum dan masalah dalam tayamum

beberapa masalah Tayamum :

1. Tayamum Sebelum Masuk Waktu Shalat

Semua ulama mazhab sepakat bahwa tidak boleh bertayammum untuk Shalat sebelum masuk waktu shalat, kecuali menurut Hanafi: Sah bertayammum sebelum masuk waktu shalat.


Imamiyah: Kalau bertayammum sebelum waktunya untuk tujuan dibolehkan bertayammum, kemudian masuk waktu dan tayamumnya belum batal, maka ia boleh shalat dengan tayammum tersebut.


Imamiyah dan Hanafi: Boleh bertayammum untuk jama dua shalat dengan satu tayammum.


Syafi'i dan Maliki: Tidak boleh menjama' dua shalat fardhu dengan satu tayammum saja . Hambali: Boleh menjama' untuk dua shalat qadha' (pengganti) bukan untuk shalat ada'an(shalat pada waktunya).



2. Suci Setelah melaksanakan tayammum 

berdasarkan keterangan syara', maka orang yang bertayammum itu hukumnya adalah suci sama seperti sucinya kalau memakai air, dan dibolehkan mengerjakan sesuatu (apa saja) yang dibolehkan pada wudhu dan mandi. Dan tayammum itu menjadi batal dengan apa yang membatalkan wudhu dan mandi, baik hadas besar maupun hadas kecil, dan dengan hilangnya udzur atau sakit.


3. Kalau setelah bertayammum itu mendapatkan air

Kalau setelah bertayammum itu mendapatkan air, dan pada waktu menemukannya itu sebelum masuk melaksanakan shalat, maka batallah tayammumnya itu, menurut kesepakatan semua ulama mazhab. Tapi kalau mendapatkannya ketika sedang shalat, maka:


Sebagian Imamiyah: Kalau ia sebelum ruku' dalam rakaat pertama, maka batal tayammumnya dan shalatnya. Tapi bila telah ruku'dalam rakaat pertama, maka teruskan shalatnya dan shalat itu sah.


Syaff'i, Maliki dan Hambali
pada salah satu dari dua riwayatnya dan sebagian kelompok Imamiyah: Kalau ia telah melakukan takbiratul ihram,maka teruskan shalatnya dan shalat itu sah, berdasarkan firman Allah


"Dan janganlah kalian membatalkan perbuatan-perbuatan kalian." (Q.S. Muhammad, 33).

Hanafi: Batal shalatnya.


Kalau udzurnya hilang setelah selesai shalat dan waktu masih luas (banyak), maka iatidak wajib mengulanginya lagi,menurut kesepakatan semua ulama mazhab.



4. Kalau orang yang junub bertayamum 

Kalau orang yang junub bertayammum sebagai pengganti dari mandi, kemudian ia hadas kecil, dan ia mendapatkan air yang cukup untuk berwudhu saja, apakah ia wajib berwudhu dan bertayammum lagí sebagai ganti dari mandi?,


Maliki dan sebagian besar dari Imamiyah:
Bertayammum lagi sebagai ganti dari mandi.


Hanafi, Syafi'i dan Hambali.
serta sekelompok dari Imamiyah Wajib berwudhu, karena tayammum itu untuk junub. Kemudian batal karena selain junub, maka ia tidak dianggap sebagai junub bila betul-betul tidak junub, hanya ia termasuk hadas kecil.


5. tayamum itu dapat sebagai pengganti untuk menghilangkan najis

Hambali sendiri yang menganggap bahwa tayammum itu dapat sebagai pengganti untuk menghilangkan najis dari badan, tanpa dikuti oleh mazhab-mazhab yang lain. (Al-Figh 'ala AL-Madzhahib Al-Arba'ah, dalam bab Arkanu al-tayammum).


6. Bila tidak ada yang dapat menyucikan, 

yaitu air dan tanah, seperti orang yang berada dalam tahanan yang tidak tersedia di dalamnya, dan tidak ada sesuatu yang dapat dijadikan tayammum atau karena sakit yang tidak bisa berwudhu dan tidak bisa bertayammum, atau tidak ada seseorang yang mewudhukannya atau mentayammumkannya; apakah ia diwajíbkan shalat dalam keadaan tidak suci ? Dan kalau berdasarkan ketentuan wajibnya shalat, lalu ia shalat, tetapi apakah wajib mengulanginya lagi Setelah mampu (bisa) bersuci?


Maliki: Gugurlah kewajiban melaksanakan shalat maupun qadha'nya. 


Hanafi dan Syafi':
Perintah untuk melaksanakan dan menggantinya itu tidak gugur. Arti melaksanakannya, menurut Hanafi adalah ia harus melaksanakan seperti orang yang shalat. Sedangkan
menurut Syafi'i: Ia wajib shalat yang sebenar-benarnya. Maka kalau udzurnya telah hilang, ia wajib mengulanginya lagi sebagaimana yang dituntut syara'.


Sebagian besar Imamiyah: Kewajiban melaksanakan itu gugur, tetapi wajib mengqadha'nya (menggantinya).


Hambali:
Bahkan diwajibkan melaksanakannya, dan gugurlah kewajiban mengqadha 'nya.

 

MAZHAB-MAZHAB DAN AYAT TAYAMMUM


Kami telah menjelaskan tentang air, hal-hal yang dapat membatalkan wudhu, dan tentang tayammum, bahwa beberapa mazhab dalam Islam sebagian besar berbeda pendapat tentang pengertian kata-kata yang dipergunakan dalam ayat tayammum, seperti:

Dan jika kamu sakit atau berada dalam perjalanan, atau kembali dari tempat buang air besar (jamban), atau menyentuh (menyetubuhi) perempuan, lalu kamu tidak mendapatkan air, maka tayammumlah dengan tanah yang baik. Maka usaplah muka-muka kamu. (Q.S. Al Maidah, 6).

Ulama fiqh berbeda pendapat tentang siapakah yang diwajibkan bertayammum kalau tidak ada air, Apakah hanya orang yang sakit dan orang musafir saja, atau sifatnya umum di mana orang mukim yang sehat juga termasuk di dalamnya ? Apakah yang dimaksudkan dengan menyentuh itu adalah bersetubuh atau hanya menyentuh dengan tangan saja? Apakah yang dimaksud air hanya air muthlaq saja atau air apa saja?


Apakah yang dimaksud dengan Al-Sha'id khusus debu saja, atau termasuk juga semua yang ada di permukaan bumi, baik debu, pasir, batu ? Apakah yang dimaksud dengan muka adalah semuanya atau hanya sebagiannya saja ? Apakah yang dimaksud dengan tangan itu adalah telapak tangan saja atau telapak tangan dan lengan ? Dibawah ini kami  ringkaskan sebagian pendapat-pendapat di atas

1, Imam Abu Hanifah berkata : Orang yang mukim yang sehat, yang tidak mendapatkan air tidak dibolehkan bertayammum, dan juga tidak diwajibkan shalat, karena ayat tersebut hanya mewajibkan bertayammum karena tidak ada air kepada orang yang sakit dan orang musafir secara khusus.


Mazhab-mazhab, yang lain : Sesungguhnya menyentuh wanita lain (yang bukan muhrim)dengan sentuhan tangan yang sempurna, maka hukumnya sama seperti orang buang air, yaítu dapat membatalkan wudhu.


Imamiyah : Bersetubuh itulah yang membatalkan wudhu, bukan menyentuh dengan tangan.

2. Hanafi: Sesungguhnya pengertian "Kalau kamu tidak mendapatkan air, maka bertayammumlah" adalah air muthlaq, atau air mudhaf. Sedangkan menurut mazhab-mazhab yang lain: Kata ma'u (air) dalam ayat tersebut hanya khusus pada air muthlaq saja bukan air mudhaf.

3. Hanafi dan sebagian kelompok Imamiyah: Yang dimaksud dari AL-Sha'id (tanah) dalam ayat tersebut adalah debu, pasir dan batu kecil.


Syafi'i: Yang dimaksudkannya adalah hanya debu dan pasir saja. Hambali: Hanya debu saja.


Maliki: Mengandung pengertian yang bersifat umum, baik debu, pasir, batu kecil, es, maupun barang tambang.


Empat mazhab: Yang dimaksud dengan muka adalah semuanya.
Imamiyah : Hanya sebagiannya saja.

4. Empat mazhab: Yang dimaksud dengan dua tangan adalah dua telapak tangan dan pergelangan sampai dua siku-siku.


imamiyah: Hanya dua telapak tangan saja.