
Tingkatan Orang Beriman Dalam Islam
Tingkatan Orang Beriman Dalam Islam - Apakah bisa dikatakan bahwa semua orang yang beriman itu sama tingkatannya. Atau, ada imannya lebih tinggi dari yang lainnya?

Derajat keimanan seseorang berbeda-beda. Tergantung dari frekuensi ibadahnya, dari tinggi rendah "volume" ibadahnya.
Firman Allah:
...إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ...
Artinya ;
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang bertakwa di antara kamu" (A-Hujurat 13)
Dari ayat itu dijelaskan, bahwa ada yang mulia dan yang paling mulia. Ada tingkatannya. Tentu saja, yang paling tinggi tingkatannya adalah nabi. Nabi-nabi adalah ma'sum (dilindungi)dari perbuatan dosa.
Orang yang mengamalkan keimanannya ada yang mencapai derajat takwa dan paling bertakwa.
- takwa dan paling bertakwa
- Mulia dan paling mulia (Wali-wali)
- setingkat dengan para nabi
- Tingkatan Nabi Muhammad saw (Hanya Nabi saw)
Takwa
Salah satu istilah yang lazim dipakai oleh para sufi dan ulama akhlak adalah kata taqwa (selanjutnya ditulis, takwa). Dalam Al-Qur'an dan teks-teks hadis, baik sebagai kata kerja (fi'il) ataupun kata benda (iSm), kata takwa telah disebut kira-kira sebanding dengan kata iman dan lebih banyak dari penyebutan kata shaum dan hajj, misalnya. Hal itu menunjukkan tinggi dan pentingnya kedudukan takwa dalam pandangan Islam.
Di dalam kitab Nahj al-Balaghah terdapat satu khotbah panjang yang bernama Khothbah al-Muttaqin. Khotbah ini disampikan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib sebagai jawaban atas permintaan seseorang yang menginginkan penjelasan tentang sifat-sifat seorang yang bertakwa. Pada mulanya Imam menghindar untuk memberi jawaban dan hanya memberi tiga atau empat kalimat jawaban.
Namun, orang yang bernama Hammam bin Syarih itu tidak merasa puas dengan jawaban singkat beliau dan berkeras meminta keterangan selanjutnya.
Maka, berbicaralah Amirul Mukminin menyangkut karakterisitk spiritual, intelektual, moral dan tindak tanduk orang-orang yang bertakwa sampai lebih dari seratus sifat. Para sejarahwan menulis bahwa khotbah Amirul Mukminin berakhir bersamaan dengan jatuh pingsannya Hammam.
Secara bahasa, kata takwa berasal dari akar kata waqyan, yang berarti "penjagaan" dan "pemeliharaan
Dalam terjemahan bahasa Indonesia, belum terlihat ada orang yang menerjemahkan takwa dengan arti "memelihara" atau "menjaga" diri. Pada umumnya, orang Indonesia memadankannya dengan "ketakwaan" atau "'menjauhi (larangan Allah)". Bila kata ini digunakan dalam bentuk kata kerja perintah, maka orang cenderung menerjemahkannya menjadi "takut". Ungkapan ittaqulah,
umpamanya, sering diterjemahkan menjadi "takutlah kepada Allah". Padahal, tak seorang ahli bahasa pun yang mengatakan bahwa arti "takwa" adalah takut atau menjauhi (larangan).
Penjagaan dan pemeliharaan diri dari satu hal boleh jadi memang erat kaitannya dengan rasa takut terhadap atau upaya menjauhi hal tersebut. Jadi, dapatlah dipahami mengapa pada beberapa tempat kata takwa secara metaforis diartikan "menjauhi atau "takut". Tetapi, kita harus Sadar bahwa maksud pokok dari kata itu adalah "memelihara" dan "menjaga" diri. Apa yang membuat kita membatasi arti ittaqullah pada "takutlah kepada Allah!".
Arti yang lebih tepat dari ungkapan itu ialah "peliharalah dari pembalasan Allah'". Oleh karena itu, terjemahan yang tepat dari kata "takwa'" bukan "'menjauhi" atau "takut", melainkan "menajaga dan memelihara diri"
Derajat Setelah Takwa
Setelah mencapai tingkat paling bertakwa, kemudian Mulia dan paling mulia. Terus meningkat kadar (derajat keimanannya, sampai setingkat dengan para nabi). Puncak dari orang-orang yang beriman adalah nabi, dan dari para nabi yang paling tinggi adalah Muhammad saw. Mengukur iman yang benar dan kuat setelah melalui ujian Allah SWT. Keimanan yang kuat akan diuji berat Keimanan yang lemah di uji ringan.
Besarnya pahala yang diperoleh manusia tergantung dari besar kecilnya ujian itu. Para nabi mendapat ujian yang begitu berat. Terberat adalah nabi Muhammad.
“Aku mengunjungi Nabi SAW, dimana dia sedang tidak enak badan. Lalu aku meletakkan tanganku ke atasnya. Maka aku dapati panas-nya pada tangan di atas selimut. Lalu aku berkata, “Wahai Rasulullah, betapa dashyatnya ia atas engkau.”Dia berkata, “Memang aku demikian, bahwa cobaan itu dilipatgandakan bagiku dan pahala juga dilipatkan.” Aku berkata lagi. “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling dashyat cobaannya?” Dia menjawab, “Para anbiya’.” Kemudian aku berkata; “Wahai Rasulullah, kemudian siapa?” Dia menjawab: “Kemudian orang-orang shalih, jika…” Al-Hadis.
Riwayat hadis yang telah dikisahkan oleh sahabat Ali Alaihis Salam ia berkata,
"Kami pernah berada di pemakaman Baqi Gharqad dan saat itu ada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam lantas mendekat dan duduk sambil membawa sebatang tongkat. Beliau kemudian membuat garis dengan tongkatnya seranya mengangkat kepala, beliau bersabda: "Tidak seorang pun di antara kalian kecuali Allah telah menentukan tempatnya; di neraka atau di surga. Dan tidak seorang pun dari kalian kecuali Allah telah menentukan apakah ia menjadi bahagia atau sengsara." Seorang laki-laki lalu bertanya, "Tidakkah sebaiknya jika kita berdiam diri saja mengikuti apa yang telah digariskan oleh takdir kita dan meninggalkan untuk beramal. Karena Jika ia termasuk orang yang digariskan mendapat kebahagiaan maka ia akan bahagia, dan jika ia termasuk orang yang digariskan mendapat kesengsaraan maka ia akan sengsara." Beliau bersabda: "Hendaklah kalian tetap beramal, sebab setiap orang akan diberi kemudahan (untuk meniti takdirnya). Orang yang ditakdirkan untuk bahagia maka ia akan dimudahkan untuk mendapatkan kebahagiaan itu, dan orang yang ditakdirkan untuk sengsara maka ia akan dimudahkan untuk mendapatkan kesengsaraan." Kemudian beliau membaca: "(Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala terbaik. maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar) -Qs. Al Lail: 5-10-. (HR. Abu Daud) [1]
Catatan Kaki
[1]Sunan Abu Daud hadis nomor 4074 (Lihat: Aunul Mabud)