Fatimah azZahra r.ah binti Muhammad Putri Rasulullah SAW

Fatimah azZahra r.ah binti Muhammad Putri Rasulullah SAW


Fatimah azZahra r.ah binti Muhammad SAW

Fatimah azZahra r.ah binti Muhammad Putri Rasulullah SAW

 

Fatimah adalah anak kelima dari Nabi Muhammad saw dan Khadijah. Ia dilahirkan pada masa ketika ayahnya telah mulai menghabiskan waktu yang lama di kesunyian pegunungan di sekitar Mekah, berkhalwat dari misteri besar penciptaan.

Sebelum masa pergolakan,  saudara perempuan tertua Fatimah, Zaynab menikah dengan sepupunya, al-Aas ibn ar Rabiah. Kemudian diikuti pernikahan kedua saudara perempuannya yang lain, Ruqayyah dan Ummu Kultsum, dengan putra-putra Abu Lahab,  paman dari pihak ayah  Nabi Muhammad. 


Baik Abu Lahab maupun istrinya, Ummu Jamil, Dari awal perjuangan dakwahnya sudah menjadi musuh utama Nabi.

 

Riwayat Fatimah azZahra r.ah

Ketika Fatimah masih kecil ia mulai ditinggal saudara-saudaranya meninggalkan rumah satu demi satu untuk tinggal bersama suami mereka. Dia masih terlalu kecil untuk mengerti arti pernikahan dan alasan mengapa saudara perempuannya harus meninggalkan rumah. Dia sangat mencintai mereka dan sedih dan kesepian ketika mereka pergi. Dikatakan bahwa kesedihan menyelimutinya.

Tentu saja, bahkan setelah saudara perempuannya menikah, Fatimah tidaklah sendirian di rumah. Terdapat Barakah, pelayan Aminah, ibu Nabi, yang telah bersama Nabi sejak ia lahir, Zayd ibn Harittsah, dan Ali, putra Abu Thalib, mereka semua adalah bagian dari Keluarga Nabi Muhammad saat itu. Dan tentu saja ada ibunya yang tercinta, Khadijah.

Pada ibunya dan Barakah, Fatimah menemukan sosok yang mampu mengalihkan kesedihannya. Pada Ali bin Abi Thalib, yang kira-kira dua tahun lebih tua darinya, dia menemukan seorang "saudara laki-laki" dan seorang teman yang entah bagaimana menggantikan saudara laki-lakinya sendiri al-Qasim yang telah meninggal dalam masa kanak-kanak. 


Saudaranya yang lain, Abdullah, yang lahir setelahnya, juga meninggal saat masih bayi.
Namun tidak satupun dari mereka, yang dapat menggantikan posisi saudara-saudara perempuannya yang telah menikah, Fatimah menemukan kebahagiaan besar yang dia nikmati bersama saudara perempuannya. Dia adalah anak yang luar biasa 'sensitif' untuk seusianya.

Fatimah Diawal Perjuangan Islam

Ketika dia berusia lima tahun, dia mengetahui bahwa ayahnya telah menjadi Rasul Allah, Utusan Tuhan. Tugas pertama yang diembannya adalah menyampaikan kabar baik mengenai Islam kepada keluarga dan kerabat dekatnya. Kemudian kepada umat manusia seluruhnya.

Pada awalnya, Mereka harus menyembah Tuhan Yang Mahakuasa sendirian. Ibunya, yang merupakan pendukung utamanya, menjelaskan kepada Fatimah apa yang harus dilakukan ayahnya.
Sejak saat itu, dia menjadi lebih dekat dengan ayahnya dan merasakan cinta yang mendalam dan abadi untuk beliau. 


Seringkali dia bersama ayahnya berjalan melalui jalan-jalan sempit dan lorong-lorong di kota Mekah, mengunjungi Kabah atau menghadiri pertemuan tersembunyi dengan sesama Muslim pada awal munculnya Islam dan yang berjanji setia kepada ayahnya sebagai Utusan Allah.

Suatu hari, ketika dia belum genap sepuluh tahun, dia menemani ayahnya ke Masjid al-Haram. Dia berdiri di tempat yang dikenal sebagai al-Hijr menghadap Kabah dan mulai berdoa. Fatimah berdiri di sisinya. Sekelompok Quraisy, yang tidak terlalu menyukai Nabi, berkumpul mendekatinya dan ayahnya. Mereka adalah Abu Jahal bin Hisham, paman Nabi, Uqbah bin Abi Muayt, Umayyah bin Khalaf, dan Shaybah dan Utbah, putra Rabi'ah. Gerombolan itu mendatangi Nabi, kemudian Abu Jahal sebagai biang keladi, bertanya pada gerombolannya:

"Siapakah di antara kamu yang bisa membawa isi perut binatang yang telah disembelih dan kemudian melemparkannya kepada Muhammad?"

Uqbah ibn Abi Muayt, salah satu yang paling jahat di kota Mekah, menawarkan diri dan bergegas pergi. Dia kembali dengan kotoran menjijikkan dan melemparkannya ke pundak Nabi saw, yang saat itu masih bersujud. Abdullah ibn Masud, salah seorang sahabat Nabi, datang, tetapi ia tidak berdaya untuk melakukan atau mengatakan apa pun.

Bayangkan perasaan Fatimah ketika dia melihat ayahnya diperlakukan seperti ini. Sebagai seorang gadis yang masih berusia sepuluh tahun,Apa yang bisa dia lakukan? Dia menghampiri ayahnya dan membersihkan pundaknya dari kotoran yang menempel dan kemudian berdiri dengan marah di depan gerombolan Quraisy tersebut. 


Tidak satu kata pun yang mereka katakan pada Fatimah. Nabi yang mulia mengangkat kepalanya setelah selesai sujud dan melanjutkan untuk menyelesaikan Shalat. Dia kemudian berdoa: "Ya Allah, semoga Engkau menghukum orang Quraisy!" dan mengulangi doanya tiga kali. Kemudian dia melanjutkan:

"Semoga Engkau menghukum Utbah, Uqbah, Abu Jahal dan Shaybah." (Orang-orang yang disebutnya semuanya terbunuh bertahun-tahun kemudian pada perang Badar)

Pada kesempatan lain, Fatimah bersama Nabi saat tawaf di sekitar Kabah. Orang-orang Quraisy berkumpul di sekelilingnya. Mereka menangkapnya dan mencoba mencekiknya dengan kerah bajunya. Fatimah menjerit dan berteriak minta tolong. Abu Bakar yang mengetahui hal itu bergegas ke tempat kejadian dan berhasil membebaskan Nabi. Ketika dia melakukan itu, dia memohon: "Apakah kamu akan membunuh orang yang mengatakan, Tuhanku adalah Allah?"

Peristiwa-peristiwa pelecehan yang keji dan kejam terhadap ayahnya dan umat Muslim awal disaksikan oleh Fatimah. Dia tidak sanggup dengan hanya berdiri di samping tetapi turut dalam perjuangan membela ayahnya dan misi mulianya. Dia masih seorang gadis kecil, tetapi tidak seperti anak-anak seusianya yang penuh dengan keceriaan, keriangan dan keaktifan anak-anak pada umumnya. Fatimah harus menyaksikan dan turut dalam cobaan seperti itu.

Tentu saja, dia tidak sendirian dalam hal ini. Seluruh keluarga Nabi pun menderita yang sama  karena orang Quraisy yang kejam dan tidak punya akal. Saudari-saudarinya, Ruqayyah dan Ummi Kultsum juga menderita. Mereka hidup di sarang kebencian terhadap Nabi. Suami mereka adalah Utbah dan Utaybah, putra Abu Lahab dan Ummu Jamil.

Saudara Fatimah Diceraikan

Ummu Jamil dikenal sebagai wanita yang keras dan memiliki lidah tajam dan jahat. Terutama karena Khadijah tidak senang dengan pernikahan anak perempuannya dengan putra Ummu Jamil. Pasti menyakitkan bagi Ruqayyah dan Umm Kultsum untuk tinggal di rumah pemimpin para musuh ayahnya.

Sebagai tanda penghinaan bagi Muhammad dan keluarganya, Utbah dan Utaybah diperintah oleh orang tua mereka (Abu Lahab dan Ummu Jamil)untuk menceraikan istri mereka. Hal ini dilakukan Abu Lahab sebagai usaha pengucilan dan boikot terhadap Nabi secara total. Namun Nabi Muhammad sebenarnya menyambut putrinya kembali ke rumahnya dengan sukacita, kebahagiaan dan kelegaan.

Sama halnya dengan Fatimah, tidak diragukan lagi, ia sangat senang bisa bersama saudara perempuannya kembali. Mereka semua juga berharap saudara perempuan tertua mereka, Zaynab, akan diceraikan oleh suaminya. 


Tetapi faktanya berlainan, walupun orang Quraisy memberi tekanan pada Abu-l Aas untuk menceraikan Zaynab, tetapi dia menolak. Ketika para pemimpin Quraisy mendatanginya dan menjanjikan untuk memberi wanita terkaya dan paling cantik sebagai seorang istri, apabila Abu-l Aas menceraikan Zaynab, 


Namun Abu-l Aas menjawab:

"Saya mencintai istri saya dengan sepenuh hati dan saya sangat menghargai ayahnya meskipun saya belum beragama Islam."

Ruqayyah dan Ummi Kultsum merasakan bahagia bisa kembali dengan orang tua mereka yang mulia dan menyayanginya serta terbebas dari penyiksaan mental yang tak tertahankan yang telah mereka alami di rumah Ummu Jamil. 


Tetapi Tak lama kemudian, Ruqayyah menikah lagi, dengan Utsman bin Affan sahabat Nabi yang termasuk orang pertama memeluk Islam. Mereka berdua hijrah ke Abyssina bersama muhajirin pertama yang mencari perlindungan di tanah itu dan tinggal selama beberapa tahun. Karenanya, Fatimah selama itu tidak bertemu Ruqayyah hingga sampai ibu mereka (khadijah) meninggal.

Cobaan Terus Berlanjut

Penganiayaan terhadap Nabi, keluarga dan para pengikutnya terus berlanjut dan bahkan menjadi lebih buruk setelah hijrahnya kaum Muslim pertama ke Abyssinia. Pada sekitar tahun ketujuh misinya, Nabi dan keluarganya terpaksa meninggalkan rumah mereka dan mencari perlindungan di sebuah lembah kecil berbatu yang dikelilingi oleh perbukitan di semua sisi, yang hanya bisa dimasuki dari Mekah melalui jalan sempit.

Di lembah yang gersang ini, Nabi Muhammad dan kelompok Bani Hasyim dan al-Muththalib mengalami kekurangan bahan makanan. Fatimah saat itu berusia sekitar dua belas tahun dan harus menjalani berbulan-bulan kesulitan dan penderitaan.

Ratapan anak-anak dan perempuan yang kelaparan di lembah itu bisa didengar dan dirasakan hingga ke kota Mekah. Orang-orang jahiliyah Quraisy sengaja menghalangi mereka mendapatkan bahan makanan juga komunikasi dari orang-orang muslim dari suku lain dikota Mekah dan sekitarnya. kesulitan yang mereka alami hanya sedikit berkurang ketika musim haji. 


Boikot itu berlangsung selama tiga tahun. Ketika diangkat menjadi Rasul, Nabi harus menghadapi lebih banyak cobaan dan kesulitan. Khadijah, yang setia dan pengasih, meninggal tak lama setelah itu. Dengan kematiannya, Nabi dan keluarganya kehilangan salah satu sumber kekuatan terbesar yang telah menopang mereka selama periode yang sulit. Tahun di mana Khadijah, dan kemudian disusul Abu Thalib, meninggal dikenal sebagai Tahun Kesedihan. 


Fatimah, sangat sedih dengan kematian ibunya. Dia menangis dengan getir untuk beberapa waktu sehingga mengakibatkan kesehatannya memburuk. Bahkan dikhawatirkan dia akan mati karena kesedihan.

Kecintaan Terhadap Ayahnya

Meskipun kakak perempuannya, Ummi Kultsum, tinggal bersama di rumah yang sama, Fatimah menyadari bahwa dia sekarang memiliki tanggung jawab yang lebih besar sejak ibunya meninggal. Dia merasa bahwa dia harus memberikan dukungan yang lebih besar kepada ayahnya. Dengan kelembutan penuh kasih, dia mengabdikan dirinya untuk mengurus kebutuhan ayahnya. Begitu peduli terhadap keadaan ayahnya sehingga dia dijuluki "Umm Abi-ha"(ibu dari ayahnya). Dia juga berusaha menghibur disaat datangnya cobaan, kesulitan dan krisis besar.

Seringkali cobaan dirasakan terlalu berat baginya. Suatu kali, gerombolan yang tak bermoral menaburkan debu dan tanah di atas kepala ayahnya. Ketika ayahnya masuk kedalam rumah, Fatimah menangis deras melihat hal itu sembari membersihkan dan menyeka debu dari kepala ayahnya.

"Jangan menangis, putriku," katanya, "karena Allah akan melindungi ayahmu."

Nabi memiliki cinta khusus untuk Fatimah. Beliau bersabda: "Siapa pun yang menyenangkan Fatimah, dia menyenangkan Allah dan siapa pun yang membuatnya marah, tentu saja membuat marah Allah. Fatimah adalah bagian dari diriku. Apa pun yang menyenangkannya, aku senang, dan apa pun yang membuat marah, ia membuatku marah."

Beliau juga mengatakan: "Wanita terbaik di seluruh dunia adalah empat: Maryam, Aasiyaa istri Firaun, Khadijah - Ummu Al mukmin, dan Fatimah, putri Muhammad saw." 


Fatimah dengan demikian memperoleh tempat cinta dan penghargaan di hati Nabi yang hanya ditempati oleh istrinya Khadijah.

Keistimewaan Fatimah

Fatimah r.ha, diberi gelar "az-Zahraa" yang berarti "Yang Mulia". Itu karena wajahnya yang berseri-seri yang sepertinya memancarkan cahaya. Dikatakan bahwa ketika dia berdiri untuk Sholat, mihrab akan memantulkan cahaya wajahnya. Dia juga dipanggil "al-Batul" (seseorang yang dikarenakan tidak mempunyai masa haid, maka ia istimewa dan unggul dari perempuan-perempuan yang ada)karena zuhudnya. 


Alih-alih menghabiskan waktunya pada urusan dunia seperti kebanyakan wanita lain, sebagian besar waktunya akan dihabiskan untuk menegakkan shalat, membaca Al-Quran dan dalam tindakan ibadah lainnya.

Fatimah memiliki kemiripan yang kuat dengan ayahnya, Rasulullah saw. Aisyah. istri Nabi, berkata tentang Fatimah: 

"Saya belum pernah melihat satu pun ciptaan Allah yang menyerupai Rasulullah lebih banyak dalam ucapan, percakapan dan cara duduk daripada Fatimah, r.ha. Ketika Nabi melihatnya mendekati , dia akan menyambutnya, berdiri dan menciumnya, memegang tangannya dan mendudukkannya di tempat dia duduk. " Dia akan melakukan hal yang sama ketika Nabi mendatanginya. Dia akan berdiri dan menyambutnya dengan sukacita dan menciumnya."


Sopan santun Fatimah dan ucapannya yang lembut adalah bagian dari kepribadiannya yang cantik dan menawan. Dia sangat baik kepada orang-orang fakir dan miskin. Fatimah sering memberikan semua makanan yang dia miliki kepada mereka yang membutuhkan walaupun jika dia sendiri kelaparan. Dia tidak memiliki keinginan untuk perhiasan dunia ini atau kemewahan dan kenyamanan hidup. Dia hidup sederhana, meskipun kadang-kadang keadaannya lebih menderita dan jauh dikatakan dari kesederhanaan.

Dia mewarisi dari ayahnya kefasihan berbicara yang berakar pada kebijaksanaan. Ketika dia berbicara, orang sering kali terharu hingga menangis. Dia memiliki kemampuan dan ketulusan untuk menggerakkan emosi, menggerakkan orang untuk menangis dan mengisi hati mereka dengan pujian dan syukur kepada Allah atas rahmat-Nya dan karunia-karunia-Nya yang tak ternilai.

Hijrah Ke Madinah

Fatimah hijrah ke Madinah beberapa minggu setelah ayahnya, Nabi Muhammad saw melakukannya. Dia pergi bersama Zayd ibn Harittsah yang dikirim oleh Nabi kembali ke Mekah untuk membawa sisa keluarganya. Rombongan itu termasuk Fatimah dan Ummi Kultsum, Sawdah, istri Nabi, istri Zayd, Barakah, dan putranya, Usamah. Bepergian dengan kelompok itu juga adalah Abdullah putra Abu Bakar yang menemani ibunya dan saudara-saudaranya, Aishah dan Asma.

Di Madinah, Fatimah tinggal bersama ayahnya di rumah yang sederhana yang dibangun di sebelah masjid (Masjid Nabawi). Pada tahun kedua setelah Hijrah, dia menerima lamaran pernikahan melalui ayahnya, dua di antaranya ditolak. 


Ditahun yang sama, Ali, putra Abu Thalib, mengumpulkan keberanian dan pergi menemui Nabi untuk meminta restu menikah. Namun, ketika di hadapan Nabi, Ali menjadi hilang keberaniannya sama sekali dan lidahnya terasa kelu. Dia menatap kebawah dan tidak bisa mengatakan apa-apa. Nabi kemudian bertanya: "Mengapa engkau datang? Apakah kamu membutuhkan sesuatu?" Ali masih tidak dapat berbicara dan kemudian Nabi menyarankan: "Apakah engkau datang untuk melamar Fatimah?"
"Ya," jawab Ali. 


Mendengar hal ini, menurut satu riwayat, Nabi hanya berkata: "Marhaban wa ahlan - Selamat datang di keluarga," dan ini disambut oleh Ali dan sekelompok Ansar yang sedang menunggunya di luar ketika meminta persetujuan Nabi. 


Riwayat lain menunjukkan bahwa Nabi menyetujui dan lantas bertanya kepada Ali apakah dia punya sesuatu untuk diberikan sebagai mahar. Ali menjawab bahwa dia tidak mendapatinya. Nabi mengingatkannya bahwa ia memiliki perisai yang bisa dijual.

Fatimah Menikah

Setelah lamarannya diterima dan Nabi menyarankan untuk menjual perisai yang dimilikinya, Ali kemudian menjual perisai kepada Utsman seharga empat ratus dirham, dan ketika ia bergegas hendak menyerahkan uang sebagai mahar kepada Nabi, Utsman menghentikannya dan berkata:

"Aku mengembalikan perisai kepadamu sebagai hadiah dariku pada pernikahanmu dengan Fatimah."
Dengan demikian, Fatimah dan Ali diperkirakan menikah pada awal tahun kedua setelah Hijrah. Usia Fatimah r.ha sekitar sembilan belas tahun saat itu dan Ali sekitar dua puluh satu. Nabi sendiri melakukan upacara pernikahan. Di walimah. para tamu disajikan dengan kurma, ara dan hais (campuran kurma dan mentega). Seorang terkemuka Anshar menyumbangkan seekor domba jantan dan yang lainnya memberikan persembahan gandum. Kota Madinah bersukacita.

Tentang pernikahannya. Nabi dikatakan telah memberi Fatimah dan Ali sebuah tempat tidur kayu yang terjalin dengan daun-daun palem, sebuah selimut beludru. bantal kulit yang diisi dengan serat palem, kulit domba, pot, kulit, dan quern untuk menggiling biji-bijian.

Kehidupan Baru Setelah Menikah

Fatimah meninggalkan rumah ayah tercintanya untuk pertama kalinya memulai hidup bersama suaminya. Nabi merasa cemas akan putrinya, dengan alasan itu, beliau mengirim Barakah untuk turut bersama Fatimah, seandainya dia membutuhkan bantuan. Dan tidak diragukan lagi Barakah adalah sumber kenyamanan dan penghiburan baginya.

Nabi berdoa untuk mereka:
"Ya Allah, berkahilah mereka berdua, berkahilah rumah mereka dan keturunan mereka."


Di tempat tinggal Ali yang sederhana, hanya ada kulit domba untuk tempat tidur. Di pagi hari setelah malam pernikahan, Nabi pergi ke rumah Ali dan mengetuk pintu.


Barakah keluar dan Nabi berkata kepadanya: "O Ummu Ayman, panggil saudaraku untukku."

"Saudaramu? Dia yang menikah dengan putrimu?" tanya Barakah dengan agak tidak percaya seolah berkata: Mengapa Nabi memanggil Ali sebagai "saudara laki-lakinya"? (Dia menyebut Ali sebagai saudara laki-lakinya karena sama seperti pasangan Muslim bergabung dalam persaudaraan setelah Hijrah, maka Nabi dan Ali dihubungkan sebagai "saudara".)

Nabi mengulangi panggilannya dengan suara lebih keras. Ali datang dan Nabi memanjatkan doa, memohon berkah Allah kepadanya. Kemudian dia memanggil Fatimah. Fatimah datang dengan rona wajah memerah tersipu malu pada ayahnya, dan Nabi berkata kepadanya:

"Aku telah menikahkanmu dengan keluargaku yang tersayang bagiku."

Dengan cara ini, ayahnya berusaha meyakinkan Fatimah. Fatimah tidak memulai hidup dengan orang yang belum dikenal baik, tetapi dengan orang yang tumbuh dalam satu rumah yang sama, yang merupakan orang pertama yang menjadi Muslim pada kalangan anak-anak, yang dikenal karena keberanian dan kebajikannya, dan yang oleh Nabi saw. digambarkan sebagai "saudara di dunia ini dan akhirat".

Kehidupan Fatimah dengan Ali sesederhana dan hemat seperti di rumah ayahnya. Bahkan, yang berkaitan dengan materi, bisa dikatakan sulit dan kekurangan. Sepanjang hidup mereka bersama, Ali tetap miskin karena ia tidak memiliki kekayaan materi. Fatimah adalah satu-satunya putri Nabi yang tidak menikah dengan pria kaya.

Bahkan, dapat dikatakan bahwa kehidupan Fatimah dengan Ali lebih "keras" daripada kehidupan di rumah ayahnya. Setidaknya sebelum menikah, ketika masih tinggal bersama ayahnya, selalu ada sejumlah uluran tangan dalam urusan rumah tangga Nabi. Tapi sekarang dia harus mengatasi sendiri.
Fatimah melakukan pekerjaan rumah tangganya sendiri, terkadang dibantu oleh suaminya. Suatu hari dia berkata kepada Ali:
"Aku menggiling biji-bijian dan mengerjakan perkerjaan berat sampai tanganku melepuh."

"Aku telah menimba air sampai dadaku terasa sakit," kata Fatimah melanjutkan.
Karena hal itu Ali menganjurkan Fatimah meminta pelayan kepada ayahnya untuk membantu pekerjaannya, namun Nabi menolak.

Setelah menolak permintaan Fatimah, Nabi berkunjung kerumah Ali dan mengajarkan kepada mereka,
"Tetaplah di tempat," dan duduklah bersebelahan. "Apakah aku tidak akan memberitahumu sesuatu yang lebih baik daripada yang kamu minta dariku?" tanyanya dan ketika mereka menjawab ya, dia berkata: "Kata-kata yang diajarkan Jibril kepadaku, bahwa bacalah" Subhaan Allah "sepuluh kali setelah setiap Sholat, dan sepuluh kali" AI hamdu lillah, " dan sepuluh kali "Allahu Akbar ." Dan ketika menjelang tidur, bacalah masing-masing tiga puluh tiga kali. "

Ali sering berkata di tahun-tahun berikutnya: "Saya tidak pernah kecewa membacanya sejak Rasulullah mengajarkan kepada kami."

Baca tentang Kisah : Tasbih Fatimah r.ha Yang diajarkan Rasulullah

Ada banyak riwayat tentang masa-masa sulit yang harus dihadapi Fatimah. Seringkali tidak ada makanan di rumahnya. 


Suatu ketika Nabi mengalami kelaparan. Dia pergi kekediaman istrinya satu demi satu, tetapi tidak ditemukan makanan. Dia kemudian pergi ke rumah Fatimah namun beliau pun tidak mendapati makanan disana. Ketika akhirnya dia mendapatkan makanan, dia mengirim dua roti dan sepotong daging ke Fatimah. 


Di lain waktu, dia pergi ke rumah Abu Ayyub al-Ansari dan dari makanan yang diberikan, dia menyimpan beberapa untuknya. Fatimah juga tahu bahwa Nabi tidak memiliki makanan untuk waktu yang lama dan saat Fatimah memiliki, langsung ia sisihkan untuk ayahnya tercinta. Suatu kali saat Fatimah mengirim roti gandum ketempat ayahnya, Nabi berkata padanya : "Ini adalah makanan pertama yang dimakan ayahmu selama tiga hari."

Melalui kasih sayangnya, dia menunjukkan betapa dia mencintai ayahnya, dan Nabi pun sangat mencintainya juga.

Suatu kali Nabi kembali dari perjalanan ke luar Madinah kemudian pergi ke masjid untuk shalat dua rakaat seperti biasa. Kemudian, seperti yang sering dilakukannya, ia pergi ke rumah Fatimah sebelum pergi ke istri-istrinya. Fatimah menyambutnya dan mencium wajahnya, mulut dan matanya dan menangis. 


"Kenapa engkau menangis putriku?" Nabi bertanya. 


"Aku melihatmu, wahai Rasulullah," katanya, "Wajahmu pucat dan pakaianmu usang dan lusuh." 


"Wahai Fatimah," jawab Nabi dengan lembut, "jangan menangis karena Allah telah mengutus ayahmu dengan sebuah alasan yang akan membawa kemuliaan di muka bumi. sampai misi dakwah ini terpenuhi sama seperti malam (mau tidak mau) datang. " Dengan apa yang dikatakan ayahnya, Fatimah sering mengalami kenyataan hidup yang keras dengan penuh perjuangan dibalik sebuah misi dakwah yang jauh dan luas yang dipercayakan kepada ayahnya yang mulia.


Sampai suatu ketika Fatimah mendapat kebahagian, Fatimah akhirnya tinggal di sebuah rumah yang dekat dengan rumah Nabi. Tempat itu disumbangkan oleh seorang Ansari yang tahu bahwa Nabi akan bersukacita bilamana putrinya akan tinggal berdampingan dengannya. Bersama-sama mereka berbagi kegembiraan dan kebahagiaan, kesedihan dan kesulitan di kota Madinah yang penuh sesak menjalani hari dan tahun.

Duka Dialami Fatimah

Pada pertengahan tahun kedua setelah Hijrah, saudara perempuannya Ruqayyah jatuh sakit karena demam dan campak. Ini terjadi sesaat sebelum pertempuran besar Badar. Utsman, suaminya, tinggal di samping tempat tidurnya dan melewatkan pertempuran. Ruqayyah meninggal tepat sebelum ayahnya kembali. 


Sekembalinya ke Madinah, Nabi langsung mengunjungi makam Ruqayyah, putrinya.

Fatimah pergi menemani beliau. Ini adalah duka pertama yang mereka derita dalam keluarga terdekat sejak kematian Khadijah. Fatimah sangat tertekan dengan kematian saudara perempuannya. Air mata mengalir dari matanya ketika dia duduk di samping ayahnya di tepi kuburan, Nabi menghiburnya dan berusaha mengeringkan air matanya dengan sudut jubahnya.

Nabi sebelumnya telah melarang untuk meratapi orang mati, tetapi kali ini situasinya berbeda, dan ketika mereka kembali dari kuburan, Umar marah dan menegur para wanita yang menangisi para pejuang Badar dan sekaligus untuk Ruqayyah, putri Nabi.

"Umar, biarkan mereka menangis," kata Nabi dan kemudian menambahkan: "Apa yang datang dari hati dan dari mata, itu dari Tuhan dan rahmat-Nya, tetapi apa yang datang dari tangan dan dari lidah, itu dari Setan." Dengan tangan maksudnya memukul payudara dan pipi, dan dengan lidah adalah keributan yang ditimbulkan.

Duka Fatimah Terganti Dengan Kebahagiaan

Kehilangan yang diderita keluarga Nabi karena kematian Ruqayyah diikuti oleh kebahagiaan, kegembiraan besar dari semua sahabat Nabi dan kaum muslimin.
Setelah kematian Ruqayyah, Utsman kemudian menikahi putri Nabi lainnya, Ummi Kultsum, dan karena itu dikenal sebagai Dhu-n Nurayn - Pemilik Dua Cahaya.

Kebahagiaan itu disusul Fatimah melahirkan seorang anak laki-laki di bulan Ramadhan tahun ketiga setelah Hijrah. Nabi mengucapkan kata-kata Adzan ke telinga bayi yang baru lahir dan memanggilnya al-Hasan yang berarti Yang Indah.

Satu tahun kemudian, dia melahirkan anak laki-laki lain

disebut al-Husain, yang berarti "Hasan kecil" atau si kecil yang cantik. Fatimah sering membawa kedua putranya untuk menemui kakek mereka yang sangat menyukai mereka. Kemudian dia akan membawa mereka ke Masjid dan mereka akan naik ke punggungnya ketika dia bersujud. Dia melakukan hal yang sama dengan cucunya yang kecil, Umamah, putri Zaynab.

Pada tahun kedelapan setelah Hijrah, Fatimah melahirkan anak ketiga, seorang gadis yang dia beri nama Zaynab, sama seperti saudara perempuan tertuanya  yang telah meninggal tak lama sebelum kelahirannya. Zaynab ini tumbuh dan menjadi terkenal sebagai "Pahlawan Karbala". Anak keempat Fatimah lahir pada tahun setelah Hijrah. Anak itu juga seorang gadis dan Fatimah menamainya Ummi Kultsum setelah saudara perempuannya yang meninggal setahun sebelumnya karena suatu penyakit.

Hanya melalui Fatimah bahwa keturunan Nabi diabadikan. Semua anak laki-laki Nabi telah meninggal dalam masa pertumbuhan mereka dan dua anak Zaynab bernama Ali dan Umamah meninggal di usia muda. Anak Ruqayyah, Abdullah, juga meninggal ketika dia belum berusia dua tahun. Ini seua adalah alasan tambahan yang diberikan untuk penghormatan kepada Fatimah.

Meskipun Fatimah begitu sibuk dengan kehamilan dan melahirkan dan membesarkan anak-anak, dia mengambil peran sebanyak yang dia mampu dalam urusan kaum Muslim yang sedang berkembang di Madinah. 


Sebelum menikah, dia berperan untuk mengurus orang miskin dan Ahlus-Suffah di Masjid Nabawi. Setelah Pertempuran Uhud berakhir, dia pergi bersama wanita-wanita lain ke medan perang untuk mengurus jenazah yang telah meninggal, merawat yang terluka dan meluangkan waktu untuk merawat luka ayahnya. 


Pada Pertempuran lain, ia memainkan peran pendukung utama bersama dengan wanita lain dalam menyiapkan makanan selama peperangan yang panjang. Dia memimpin para wanita Muslim dalam sholat dan di tempat itu berdiri sebuah masjid bernama Masjid Fatimah, salah satu dari tujuh masjid di mana kaum Muslim berjaga dan melakukan ibadah mereka.

Fatimah juga menemani Nabi ketika ia ibadah haji di tahun keenam setelah Hijrah setelah Perjanjian Hudaybiyyah. Pada tahun berikutnya, dia dan saudara perempuannya Ummi Kultsum, termasuk di antara kaum muslim yang berjuang bersama Nabi dalam pembebasan Mekah. Dikatakan bahwa pada kesempatan ini, baik Fatimah dan Ummi Kultsum mengunjungi rumah ibu mereka Khadijah dan mengingat kenangan masa kecil mereka dan kenangan jihad, perjuangan panjang di tahun-tahun awal dakwah Nabi.

Perpisahan Yang Terakhir

Dalam bulan Ramadhan tahun kesepuluh sebelum ia melanjutkan Ziarah terakhir, Nabi menceritakan kepada Fatimah, sebagai rahasia yang belum diceritakan kepada orang lain:

" Jibril membacakan Alquran kepada saya dan saya kepadanya sekali setiap tahun, tetapi tahun ini ia membacakannya dua kali denganku. Aku berpikir bahwa waktuku telah tiba. "

Sekembalinya dari Ziarah, Nabi benar-benar sakit parah. Hari-hari terakhirnya dihabiskan di kediaman istrinya Aisyah. Ketika Fatimah datang mengunjunginya, Aisyah meninggalkan ayah dan anak perempuannya, Fatimah, untuk bersama.

Suatu hari Nabi memanggil Fatimah. Ketika dia datang, Beliau menciumnya dan membisikkan beberapa kata di telinganya. Fatimah menangis. Kemudian Nabi berbisik kembali di telinganya dan dia tersenyum. Aisyah melihat dan bertanya:

"Kamu menangis dan kamu tertawa pada saat yang sama, Fatimah? Apa yang dikatakan Rasulullah kepadamu?" Fatimah menjawab:

"Dia pertama kali memberitahuku bahwa dia akan bertemu dengan Allah lantas aku menangis beberapa saat. Kemudian dia berkata kepadaku, 'Jangan menangis karena kamu akan menjadi orang pertama dari keluargaku yang bergabung denganku.' Jadi saya tertawa. "


Namun pertanyaan Aisyah r.ha terhadap Fatimah r.ha diajukan setelah Nabi saw telah wafat, dikarenakan adab dalam menjaga rahasia.


Baca Tentang :
adab keutamaan dalam menjaga rahasia

Tidak lama kemudian Nabi saw meninggal. Fatimah merasakan kesedihan yang mendalam dan dia sering terlihat menangis tersedu-sedu. Salah satu sahabat mencatat bahwa dia tidak melihat Fatimah r.ha, tertawa setelah kematian ayahnya (Nabi Muhammad saw).

Suatu pagi, di awal bulan Ramadhan, hanya kurang dari lima bulan setelah ayahnya, Nabi Muhammad saw meninggal, Fatimah terbangun dari tidurnya dengan wajah sangat bahagia dan penuh kegembiraan. Pada sore hari itu, dikatakan bahwa dia memanggil Salma binti Umays yang merawatnya. 


Dia meminta disiapkan air untuk mandi. Dia kemudian mengenakan pakaian baru dan menggunakan wewangian. Dan meminta Salma untuk meletakkan alas di halaman rumah. Dengan wajah memandang ke langit di atas, dia meminta suaminya, Ali.

Ali terkejut ketika melihat Fatimah berbaring di tengah halaman dan bertanya padanya, "apa yang terjadi."


Fatimah tersenyum dan berkata: "Saya punya janji hari ini dengan Rasulullah saw."

Ali menangis mendengar Fatimah mengatakan hal itu, dan Fatimah mencoba menghiburnya. Dia mengatakan kepadanya untuk menjaga putra-putra mereka al-Hasan dan al-Husain dan menyarankan agar dia dimakamkan dengan sederhana. Dia menatap ke atas lagi, lalu menutup matanya dan menyerahkan jiwanya kepada Sang Maha Pencipta lagi Maha Perkasa.

Dia, Fatimah azZahra r.ah binti Muhammad SAW putri Rasulullah tercinta, wafat di usia dua puluh sembilan tahun.