Diangkatnya Derajat Manusia Dengan Akalnya

Diangkatnya Derajat Manusia Dengan Akalnya

Diangkatnya Derajat Manusia Dengan Akalnya

Manusia adalah ciptaan Allah yang paling sempurna diantara makhluk lainnya, disempurnakan dengan akalnya. Bila ia mampu menggunakan akalnya ia lebih mulia bahkan dari malaikat, sdangkan yang terjerumus karena akalnya, maka ia lebih hina bahkan dari binatang.

 

Diangkatnya Derajat Manusia Dengan Akalnya

QS. AL-Hujuraat

وَرَسُوۡلِهٖ‌ وَ اتَّقُوا اللّٰهَ‌ؕ اِنَّ اللّٰهَ سَمِيۡعٌ عَلِيۡمٌ

Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnyn Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui, (AL-Hujuraat : 1)


ALLAH TELAH MENGANGKAT DERAJAT MANUSIA

Di atas semua jenis makhluk lainnya, dengan mengaruniakannya akal. Karena itu, malaikat dan seluruh penghuni langit diperintahkan bersujud kepada Adam, karena moyang manusia itu telah diberi akal oleh Allah SWT.


Penghormatan Islam terhadap akal dan buah pikiran manusia merupakan hal yang wajar, bahkan sebuah keniscayaan, karena akal, sekalipun punya keterbatasan, dalam pandangan Islam adalah sumber ma'rifat (pengetahuan)


Seperti diketahui ada tiga sumber ma'rifat, yaítu:

  • ma'rifat pengindraan,
  • ma'rifat akal atau suara batin,
  • dan ma'rifat khabar (berita). 


Ma'rifat pengindraan, terutama pendengaran dan penglihatan tidak pernah cukup sebelum ditranformasikan ke otak dan diolah serta diterjemahkan dengan sebaik-baiknya oleh akal. Akan tetapi indra dan akal juga tidak akan memberi kebaikan bila tidak ada peranan wahyu. Itulah sebabnya wahyu dalam Islam menjadi sumber tertinggi dalam pengetahuan.

Akal dan Wahyu

Hubungan akal dengan wahyu, seperti digambarkan Rasulullah, semestinya seperti bumi yang bertemu dengan air hujan. Dengan air hujan itu tumbuhlah berbagai macam tanaman yang menghasil kan buah-buahan, dan aneka bunga-bungaan yang menghasil kan aroma dan warna-warni yang indah. Dalam hadis Abu Musa yang dimuat di dalam Kitab Shahihain, Rasulullah bersabda:


Perumpamaan Allah mengutusku dengan petunjuk dan ilmu pengetahuan adalah seperti  hujan lebat yang menyirami tanah. Diantara tanah itu ada yang gembur yang bisa menerima air, kemudian menumbalikan rerumputan yang lebat. Kemudian ada pula tanah cadas yang dapat menghimpun air sehingga airnya dapat dimanfaatkan oleh manusia. Mereka minum, memberi minum kepada binatang ternak, dan bercocok tanam dengannya. Tetapi ada juga tanah yang sangat cadas dan tidak dapat menerima air, tidak dapat menumbuhkan tanaman. Begitulah perumpamaan orang yang memahami ajaran agama Allah dan memanfaatkan ajaran yang aku diutus untuk menyampaikannya. Dia memahami kemudian mengajarkannya. Dan begitulah orang yang tidak mau mengangkat kepalanya dan tidak mau menerima petiunjuk Allah yang aku diutus untuk menyampaikannya.


Hubungan akal dan wahyu dalam hadits itu digambarkan secara harmonis, karena kedua-duanya berasal dari Allah SWT. 


Sayang, dalam kehidupan nyata seringkali akal ditempatkan dalam posisi yang berlawanan dengan wahyu.


Dalam kondisi itu akal biasanya selalu dimenangkan, mendahului wahyu. Bahkan posisi wahyu sendiri mulai dipertanyakan, mulai dari otoritasnya untuk memberikan panduan kepada manusia, sampai kepada menggugat orisinalitasnya sendiri. Inilah yang terjadi pada orang-orarng yang menamakan dirinya kaum liberal.


Mereka merasa cukup bisa mengatur kehidupannya sendiri dengan kemampuan akalnya, tanpa campur tangan wahyu. Padahal pengingkaran terhadap wahyu sama dengan pengingkaran terhadap Allah, sebab eksistensi Allah tidak mungkin bisa dipahami tanpa melalui wahyu, karena media untuk memperkenalkan Diri-Nya adalah wahyu. 

Jadi, jika ada orang yang mulai meragukan wahyu, maka pada dasarrnya ia telah sampai pada tingkat meragukan adanya Allah. Sedikit lagi mereka akan jatuh pada kekafiran.