Syarat Air Dua Kullah Untuk Menyucikan Diri (Thaharah)

Syarat Air Dua Kullah Untuk Menyucikan Diri (Thaharah)


Semua mazhab sepakat, bahwa apabila air berubah warna, rasa, dan baunya karena bersentuhan dengan najis, maka air itu menjadi najis, baik sedikit atau banyak, bermata air ataupun tidak bermata air, muthlaq ataupun mudhaf. Apabila air itu berubah karena melewati bau-bauan tanpa bersetuhan dengan najis, misalnya ia berada di samping bangkai lalu udara dari bangkai itu bertiup membawa bau kepada air itu, maka air itu hukumnya tetap suci.

syarat air dua kullah
image source : cosmeticsdesign.com

Air Dua Kullah 

Apabila air bercampur dengan najis, sedangkan air itu tidak berubah sifatnya, maka Imam Malik berkata berdasarkan suatu riwayat Air itu bersih, sedikit atau banyak.Sedang mazhab yang lain berpendapat:

Jika air itu sedikit menjadi najis, dan jika banyak tetap suci. Meskipun demikian, mereka berbeda pendapat dengan ukuran banyak sedikitnya.

Syafi'i dan Hambali berpendapat bahwa yang digolongkan banyak itu adalah dua kullah, seperti yang disebutkan oleh hadis

"Apabila air sampai dua kullah, maka ia tidak najis".

Yang disebut dua kullah sama dengan 500 kati Iraq. Menurut sebagian syaikh Azhar, dua kullah ialah dua belas tankah. Imamiyah berkata: Yang disebut banyak itu jika sampai satu karra, sebagaimana hadis :

"Apabila air itu sampai satu karra, maka ia tidak menjadi najis."

Satu karra sama dengan 1.200 kati Iraq, kira-kira 27 tankah. Hanafi berkata: Yang disebut banyak ialah jika air itu digerakkan di satu bagian, maka bagian yang lain tidak ikut bergerak.

Seperti yang telah kami jelaskan di atas, Imam Malik tidak memberikan penjelasan tentang dua kullah dan karra, dan tidak ada Ukuran tertentu bagi air pada mazhab mereka, sedikit atau banyak sama saja. Yang penting, jika air itu berubah salah satu dari sifat-sifatnya, maka air menjadi najis; jika tidak, ia tetap suci. Pendapat ini sesuai dengan pendapat salah seorang Imamiyah, Ibnu Abi Aqil, berdasarkan hadis :

"Air itu pada dasarmya suci. la tidak menjadi najis oleh sesuatu kecuali berubah wana, rasa, dan baunya, "

Tetapi hadis di atas bersifat umum, sedangkan hadis dua kullah atau karra bersifat khusus, dan khusus mesti didahulukan daripada umum

Imam Hanafi juga tidak memberikan ukuran dengan dua kullah dan karra, tetapi diukur dengan sistem gerakan sebagaimana tersebut dimuka.

Catatan
Syafi'i dan Imamiyah berkata : Cairan lain seperti cuka dan minyak, menjadi najis bila tersentuh najis, sedikit atau banyak, berubah atau tidak. Inilah yang dimaksud oleh ushul syara', seperti sabda Nabi saw yang telah dikenal :

"Apabila air itu sampai dua kullah maka tidaklah menajiskannya sesuatu".

Air itu ialah air muthlaq.

Hanafi berkata: Hukuman cairan selain air seperti air muthlaq, sedikit ataupun banyak. Sedikit najis yang menyentuhnya akan menjadikan najis jika air berjumlah sedikit; dan tidak najis jika air itu banyak. Di dalam Hasyiah Ibnu Abidin [1]: Hukum cairan itu seperti air menurut asalnya. Dengan demikian, jika ke dalam air perahan yang jumlahnya banyak bertumpah air kencing, maka air perahan itu menjadi najis; begitu pula darah, kaki pemerah tidaklah menajiskannya.

Air Mengalir dan Air Tenang

Mazhab-mazhab berbeda pendapat tentang air yang mengalir, Hanafi berkata : Setiap air yang mengalir, sedikit atau banyak berhubungan dengan benda atau tidak, tidaklah menjadi najis hanya karena bersentuhan dengan najis. Malah, jika ada air najis dalam sebuah bejana
dan air bersih dalam bejana yang lain, kemudian kedua jenis itu dicurahkan dari tempat yang tinggi sehingga keduanya bercampur di udara dan jatuh kebawah, maka campuran kedua jenis air itu hukumnya suci. Begitu juga jika keduanya dialirkan diatas bumi.[2]

Hanafi menolak pendapat bahwa kedua macam air dibawah ini, tidak menjadi najis jika bersentuhan dengan najis, yakni:

Pertama: Air tenang yang bila digerakkan salah satu bagiannya, bagian yang lain tidak ikut bergerak.

Kedua: Air mengalir dengan jalan apapun.

Adapun air sedikit yang tidak menjadi najis jika bersentuhan dengan benda najis, maka keadaannya seperti air tenang yangjumlahnya sedikit, yang jika digerakkan di satu bagian, bagian lainnya ikut bergerak.

Mazhab Syafi'i
tidak membedakan antara air mengalir dan air tenang yang memancar atau tidak, tetapi ditetapkan berdasarkan banyak dan sedikitnya air. Banyak ialah dua kullah: Bila bersentuhan dengan najis ia tidak menjadi najis. Sedangkan air yang kurang dari dua kullah akan menjadi najis jika bersentuhan dengan benda najis. Pendapat ini berdasarkan hadis

"Apabila air sebanyak dua kullah, ia tidak membawa najis."

Syafi'i berkata: Jika air yang mengalir itu cukup dua kullah dan tidak berubah walaupun ia bercampur barang najis, maka semua air itu Suci. Jika air yang mengalir itu tidak sampai dua kullah, maka yang mengalir (bersama najis) itu hukumnya najis, sedangkan yang mengalir sebelum dan sesudahnya, hukumnya suci. Perbedaan pendapat antara Syafi'i dan Hanafi dalam hal air mengalir itu jauh sekali.

Hanafi berpendapat, bahwa "mengalir" itu walaupun sedikit, ada sebab yang menjadikannya suci, seperti contoh yang disebutkan di muka : Yakni Sebuah bejana yang berisi air bersih, dan bejana lain yang berisi air kotor, maka keduanya menjadi suci jika dicampur dengan jalan dialirkan.



Sedangkan Syafii tidak memperlihatkan jalan bercampurnya tetapi menekankan jumlahnya. Menurut Syafi'i, sekalipun sungai yang besar, bagian air yang mengalir bersama najis tetap najis hukumnya. Dan setiap bagian yang mengalir itu terpisah dari bagian lainnya

Hambali berkata: Air yang tenang, bila kurang dari dua kullah menjadi najis walaupun hanya bersentuhan dengan najis, baik memancar ataupun tidak. Sedangkan air yang mengalir tidak menjadi najis jika bercampur dengan benda najis, kecuali berubah. Hukumnya seperti air yang jumlahnya banyak. Pendapat ini dekat dengan pendapat Hanafi.

Adapun Maliki, seperti telah kami jelaskan, berpendapat bahwa air yang sedikit tidak menjadi najis dengan hanya bersentuhan dengan najis dan tidak ada beda antara air yang mengalir dan air yang tenang. Jelasnva mereka tidak memperhatikan perubahan air itu karena najis. Jika air itu berubah karena bersentuhan dengan najis, maka ia menjadi naiis.

Sebaliknya jika air itu tidak mengalami perubahan apa-apa, maka hukumnya tetap suci, baik sedikit maupun banyak, memancar atau tidak.

Imamiyah berkata : 1Tidak ada tanda untuk menentukan air itu mengalir atau banyak. Jika air itu berhubungan dengan air pancaran (mata air) walaupun perlahan maka dianggap air itu sama hukumnya seperti air banyak. Ia tidak menjadi najis dengan bersentuhan dengan najis, walaupun jumlah air itu sedikit dan berhenti. Sebab, pada mata air itu ada kekuatan pusat air dan air yang banyak. Apabila air itu tidak berhubungan dengan mata air, maka jika jumlahnya satu karra (dua kullah) tidak menjadi najis bila bersentuhan dengan benda najis, kecuali JIka berubah salah satu sifatnya. Apabila jumlahnya tidak mencapai Satu karra, maka air itu menjadi najis bila bersentuhan dengan najis, baik mengalir ataupun tidak. Hanya saja, apabila mengalir, bagian atas air itu tidaklah najis,

Air Menyucikan Najis

Apabila ada air yang sedikit menjadi najis dengan bersentuh dengan najis, tetapi tidak mengalami perubahan sifat apapun, maka Imam Syaff'i berpendapat:Jika air itu dikumpulkan sampai cukup dua kullah, ia menjadi suci dan menyucikan najis, baik cukupnya itu karena bercampur dengan air suci maupun dengan air najis, dan jika air itu dipisahkan, ia tetap suci hukumnya. Jika seseorang mempunyai dua atau lebih bejana, dan tiap-tiap bejana itu mengandung najis, kemudian air-air najis itu dikumpulkan dalam satu tempat hingga mencapai dua kullah, maka air tersebut suci dan menyucikan[3]

Hambali dan kebanyakan fuqaha(ahli fiqih) Imamiyah berkata: Air yang sedikit itu tidak menjadi bersih dengan mencukupkannya menjadi dua kullah, baik dengan air bersih maupun dengan air najis. Karena, mengumpulkan air najis dengan sejenisnya tidaklah menjadikan kumpulan itu suci. Begitu pula, air suci yang sedikit menjadi najis, dengan sentuhan air najis. Oleh karena itu, jika hendak bersuci, cukuplah air itu sampai satu karra atau dengan air pancaran menurut mazhab Imamiyah,

sedangkan mazhab Hambali mewajibkan sampai dua kullah. Menurut mazhab Syafi'i dan Hambali, apabila air yang banyak mengalami perubahan karena terkena najis, maka air itu dapat disucikan dengan hanya menghilangkan perubahan yang terjadi. Imamiyah berkata:

Jika tidak ada mata air pada air yang banyak itu, maka tidaklah suci hanya dengan menghilangkan perubahannya; bahkan setelah hilang perubahannya kita masih harus memasukkar satu karra air suci kedalamnya, atau menghubungkannya dengan mata air, atau ia bercampur sendiri dengan air hujan. Jika pada air itu ada mata air, maka ia suci dengan hilangnya perubahan yang terjadi, sekalipun sedikit.

Maliki berpendapat : Menyucikan air yang terkena najis itu dapat dengan cara mencurahkan air muthlag di atasnya hingga hilang sifat najis itu.

Hanafi berpendapat: Airyang najis itu menjadi bersih dengan cara mengalirkannya. Jika ada air yang najis di dalam bejana, kemudian dicurahkan air ke atasnya hingga mengalir keluar dari tepi-tepinya, maka menjadi sucilah air itu. Begitu juga, jika ada air najis di dalam kolam atau lubang, kemudian digali lubang lain skipun jaraknya dekat dan dialirkan air najis pada saluran di antara kedua lubang itu sehingga semua air itu berkumpul pada satu lubang, maka semuanya menjadi suci, jika air kembali menjadi najis karena suatu hal, maka dengan cara yang sama dapat dilakukan untuk menyucikannya, yaitu dengan menggali lubang lain dan mengalirkannya hingga berkumpul pada satu lubang. Begitu seterusnya.

Oleh karenaitu, air yang tidak boleh anda gunakan untuk berwudhu ketika ia tenang, dapat anda gunakan dengan cara mengalirkannya dengan cara apapun. Bahkan, jika ada bangkai sekalipun didalamnya, atau orang kencing di bawahnya, tidak ada tanda bahwa air itu mengalir dan diketahui bahwa air itu tidak berhubungan dengan mata air, jika dialirkan, maka air itu menjadi suci


Catatan Kaki

[1]Ibnu Abidin I hal. 130, cetakan Al-Maimaniyah.
[2]Ibnu Abidin 1, hal. 131.
[3]Syarah Mazhab I: 136.