
Hakikat Belajar Tasafuw Tanpa Guru
Bolehkah belajar tasawuf tanpa guru secara otodidak dan mandiri, Bagaimana caranya?
Bolehkah minta bantuan paranormal (dukun) untuk mempercepat tercapainya tujuan, dan sebagainya?

Belajar Tasafuw Secara Otodidak
Tasawuf, sebagai bagian dari ilmu agama Islam, tidak berbeda jauh dari ilmu-ilmu yang lain. Bagi orang yarng akan mempelajari ilmu tasawuf harus memiliki persyaratan-persyaratan sebagaimana para pencari ilmu. Di antara syarat tersebut harus mendapat bimbingan dari guru.
Guru pembimbing (mursyid) sang guru yang benar-benar bisa mengarahkan murid ke jalan yang benar. Ukuran benar dan salah di sini adalah al-Qur'an dan Sunnah Nabi serta akal sehat. Jika keluar dari kerangka tersebut berarti guru tersebut sesat dan menyesatkan yang harus dihindari
Perlu diketahui istilah mursyid itu diperuntukkan bagi nama seorang pembimbing dalam suatu tarekat, sedangkan dalam tasawuf hal itu tidak dikenal.
Oleh karena itu syarat adanya guru pembimbing bagi yang hendak mengikuti tarekat adalah agar murid tidak salah arah atau tergelincir kepada ilmu yang salah (sesat). Ibarat orang-orang yang buta matanya memegang gajah, maka akan menjelaskannya sesuai dengan apa yang dirabanya.
Maka apabila seseorang ingin belajar tasawuf tanpa guru secara mendiri, bukan berarti tidak ada kesempatan bagi. Mereka bisa mempelajari tasawuf akhlaki secara otodidak dengan membaca buku-buku tasawuf yang dapat ditemukan di toko-toko buku agama.
Akan tetapi hal tersebut tetap konsultasi dengan orang yang ahli dalam ilmu tersebut, untuk mendapatkan petunjuk mengenai bagian-bagian mana yang lebih dulu dipelajari bagi pemula (awam) dan proses selanjutnya sehingga bisa urut (sistematis). Tetapi bagi yang sudah pandai, dalam arti luas, belajar tasawuf bisa 100% otodidak.
Karena diasumsikan dia sudah bisa membaca peta dan denah, tanpa harus dituntun secara detail. Dengan demikian gurunya adalah pengarang buku itu sendiri.
Tasawuf pada intinya adalah akhlak dan akhlak bersumber dari hati. Jadi ilmu tasawuf adalah ilmu untuk mengolah hati, rasa/perasaan agar melahirkan akhlakul karimah Untuk itu Anda jangan pesimis kalau tidak punya waktu dan biaya
Untuk belajar tasawut. Saya sangat mendukung niat baik Anda karena punya keinginan yang besar mempelajari tasawuf. Akan lebih baik lagi kalau Anda tidak sekadar mempelajari teori-teori tasawuf tetapi mengamalkan tasawuf dalam kehidupan sehari-hari. Karena tasawuf bukanlah ilmu yang bersifat teoretis semata, melainkan menuntut pengamalan dalam kehidupan nyata.
Salah satu amalan tasawuf adalah menjadikan doa, disamping sebagai alat komunikasi dengan Tuhan juga sarana memohon kepada Allah SWT. Kaitannya dengan doa semacam itu, al-Qur'an banyak menerangkan dalam beberapa ayatnya, semisal dalam surat Ghafir 40:60.
Dalam ayat tersebut dinyatakan doa bukan sekadar hak umat manusia, namun perintah Allah kepada manusia apabila memiliki keinginan.
Nabi Saw. dalam sebuah haditsnya juga mengatakan,
"Doa adalah pedangnya orang mukmin. "
Maksudnya, sebagai umat manusia yang beragama, apabila memiliki suatu cita-cita, harapan/keinginan, maka demi tercapainya cita-cita atau harapan itu, di samping harus berikhtiar secara lahiriah juga secara batiniah, yaitu dengan berdoa kepada Allah.
Oleh karena itu, berdoa lebih utama dilakukan secara pribadi, karena kitalah yang lebih tahu dan lebih paham makSud dari permohonan kita. Namun tidak menutup kemungkinan dalam berdoa kita melibatkan orang lain, meminta bantuan orang lain yang masih hidup.
Seperti kepada orang tua Kita atau orang yang kita anggap lebih dekat kepada Tuhan
Karena lebih bertakwa, misal kepada kiai atau alim ulama. permintaan kepada orang lain agar mendoakan kepada Allah dengan harapan mempercepat terkabulnya doa kita diperbolehkan oleh agama. Yang dilarang antara lain adalah:
1. Meminta bantuan juru bade atau bisa disebut dukun untuk meramal nasib kita. Nabi Saw. pernah bersabda:
Man ata arrafan fa sa'alahu an syai in fa shaddaqahu lam tuqbal lahu shalatuhu arba ina yauman
Artinya,
"Barangsiapa mendatangi juru ramal (dukun), lalu menanyakan kepadanya tentang sesuatu dan dia membenarkannya, maka tidak diterima shalatnya selama 40 hari". (HR Muslim.)
2. Meminta bantuan kepada orang yang sudah mati, misalnya kita berziarah kepada makam wali dan meminta kepadanya agar diberi sesuatu.
Kedua hal tersebut di atas dilarang oleh agama karena akan menyebabkan syirik kepada Allah. Wallahu a lam.
Maqam Menuju Makrifat
Dalam tasawuf perantau atau penempuh jalan untuk mendekat kepada Tuhan disebut Salik. Seorang salik untuk berada dekat pada Tuhan harus menempuh jalan panjang yang berisi stasion-stasion yang disebut maqamat.
Menurut Abu Bakar Muhammad al-Kalabadi, seorang salik akan sampai pada hal tertentu, maka harus melalui stasion-stasion (maqamat), tahap demi tahap.
Adapun tahapan/maqamat menurut dia adalah:
Taubat yakni taubat yang sebenar-benarnya, taubat yang tidak akan membawa kepada dosa lagi. Zuhud yakni tidak mencintai dunia secara berlebihan, dunia hanya dijadikan sarana menuju akhirat (ad-dunya mazra 'atul al-akhirah).
Sabar yakni menjalankan perintah-perintah Allah, menjauhi larangan-Nya, menerima percobaan dan musibah serta tahan uji dalam menerima nikmat.
Selanjutnya, faqir yaitu tidak meminta lebih daripada apa yang telah ada pada diri kita.
Tidak meminta rejeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban. Tawadhu (rendah hati) yaitu sikap batin seseorang yang menganggap dirinya tidak lebih utama dari orang lain.
Taqwa yakni mematuhi semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-larangan-Nya.
Lain daripada itu ialah tawakkal adalah sikap menyerahkan segala usaha kepada Allah dengan keyakinan bahwa apa yang dikehendaki-Nya pasti akan terwujud. Dan apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terwujud
Ridha ialah sikap menerima realita kehidupan dengan senang hati, sekalipun pahit.
Mahabbah yakni cinta kepada Tuhan, dengan cara patuh dan menyerahkan diri kepada-Nya serta mengosongkan hati kecuali' Dia.
Yang terakhir sebagai puncaknya ialah ma 'rifat yaitu mengetahui Tuhan dengan hati sanubari. Ma 'rifat dapat diperoleh bila yang bersangkutan sudah bersih jiwanya dan benar akidahnya serta banyak amal ibadahnya serta mendalam ilmunya.
Kitab Tanwir al-Qulub fi Mu' amalah Allami alGhuyub
DALAM kitab Tanwir al-Qulub fi Mu' amalah Allami alGhuyub yang ditulis oleh Najmu al-Din Amin al-Kurdi pada halaman 464 dinyatakan, barangsiapa yang mengenal dirinya, dia akan mengenal Tuhannya.
Memang pengenalan diri di kalangan sufi merupakan seSuatu yang sangat penting. Orang yang tidak mau mengetahui dirinya, sama saja dengan sebuah karung kosong melompong ilmu pengetahuan diri dianggap ilmu rahasia. Orang yang belum pernah belajar ilmu pengenalan diri dianggap belum sempurna imannya. Tasawuf itu terbagi dua, yakni mencari Allah Yang Maha Esa dan mengenal asal usul manusia.
Arti maqam (stasiun), yaitu tingkatan yang harus diusahakan oleh seorang sufi dalam rangka menuju ma ritatullah (mengenal Allah), yang sifatnya permanen atau tetap Stasiun-stasiun itu, menurut pendapat Najmu al-Din Amin Alkurdi dalam bukunya 7anwir al-QulubfiMu amalati Allami al-Ghuyub, secara tidak langsung telah dijelaskan, namun sifatnya tidak tegas dan tidak berurutan, yakni taubah, zuhud, tawakkal dan tafwidl, ikhlash, mahabbah, syaug, serta wajdu.
Maqam yang Pertama ialah Taubah
Taubah berarti kembali kepada jalan yang benar dan diridai Allah SWT. Stasiun bagaikan bumi/ tanah dengan bangunan, artinya tidak mungkin ada bangunan tanpa tanah.
Hukumnya wajib bagi setiap orang mukmin, terutama yang merasa mempunyai dosa, baik kepada-Nya maupun kepada sesama manusia.
Syaratnya ialah memohon ampun, berjanji tidak akan mengulangi lagi, dan menyesal atas segala kesalahan yang telah diperbuat. Stasiun ini dibaginya ke dalam tiga tingkatan, yakni taubat yang didorong oleh sikap takut karena siksa-Nya disebut ta'ib, rasa menyesal karena malu kepada-Nya disebut munib, dan taubat karena sikap pengagungan kepada Nya disebut awwab.
Jika seseorang telah melakukan taubat dengan sungguh-Sungguh, dirinya terbebas dari dosa (tahliyah) kemudian dengan sendirinya menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji (tahliyah), akhírnya sampai pada terbukanya tabir (hijab) atau disebut tajliyalh.
Maqam yang kedua ialah zuhud
Maqam yang kedua ialah zuhud. Menurut beliau zuhud adalah tidak senang terhadap sesuatu yang telah ada dan tidak susah terhadap sesuatu yang tidak ada, serta tidak disibukkan mencarinya, tetapi justru bersenang-senang dengan sesuatu yang baik baginya menurut pandangan Allah SWT.
Termasuk di dalamnya tidak gila pangkat, sama antara pujian dan cacian, antara dikerumuni orang banyak dan ditinggalkannya
Hal itu sesuai dengan bunyi ayat 23, surat al-Hadid (57) yang artinya,
"Agar engkau tidak berduka cita terhadap apa yang telah luput dari kamu dan supaya kamu tidak terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan sesungguhnya Allah tidak mernyukai setiap orang yang sombong lagi membagakan diri"
Stasiun ketiga ialah tawakkal
Stasiun ketiga ialah tawakkal, yaitu bergantungnya pada Tuhan, dengan disertai usaha maksimal, seperti hadits Nabi ketika melihat seorang sahabat yang melepaskan untanya dihalaman masjid dengan dalih tawakkal, kemudian beliau bersabda, "Iqilha wa tawakkal(ikatlah dan kemudian bertawakallah kepada Allah SWT)
Arti tawakal yang lain ialah menggantungkan diri secara rohani kepada Tuhan, merasa tenang dengan apa yang telah ada, bersyukur ketika diberi dan sabar ketika terhalangi. Namun secara fisik tetap berusaha.
Dalam bertawakal ada tingkatannya, yakni tawakal itu sendiri, taslim, dan tafiwidl Tingkatan pertama ialah tenang terhadap janji Allah, dan tanpa upaya mengadukan dirinya kepada-Nya. Ini adalah sifat orang pada umumnya. Sedang tingkatan taslim ialah merasakan bahwa ilmu Allah telah cukup terhadap kondisinya, ini tingkatan khawash (istimewa).
Tafwidl ialah rela terhadap hukum dan keputusan-Nya, adalah sifat khawash al-kthawasth (sangat istimewa),
Stasiun keempat ialah ikhlash
Stasiun keempat ialah ikhlash, yang tidak bisa dilihat siapa pun. Menurut hadits Nabi saw, sifat ini hanya dimiliki hamba yang dikasihi-Nya. Setan pun tidak mampu menggodanya, sebagaimana firman Allah SWT Dalam surat Shad (38) ayat 82-83 yang artinya (Iblis menjawab),
"Demi kekuasaan-Mu, aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang ikhlas di antara mereka."
Melakukan ikhlas hukumnya wajib, karena tanpanya ibadah seseorang akan terjebak pada hal-hal yang merusaknya, seperti riya (pamer), ujub (bangga diri), dan sumah (ingin didengar).
Stasiun kelima ialah cinta
Stasiun kelima ialah cinta, yakni kecondongan hati seseorang terhadap sesuatu, yakni Allah SWT. Sifat ini tidak akan tercapai, kecuali hati seseorang sudah terhindar dari kotoran hawa nafsu.
Bila seseorang sudah mencintai-Nya, akan lenyaplah segala bentuk cinta kepada selain-Nya. Karena cinta kepadaNya bagaikan api yang membakar kepada cinta selain-Nya, termasuk cinta dunia dan cinta akhirat.
Dalam catatan Amin Kurdi, cinta terbagi tiga tingkatkan, yakni cinta orang pada umumnya adalah karena semata-mata menginginkan kebaikan-Nya. Sedangkan cinta orang yang khawash(istimewa) adalah cinta yang murni, tidak tercampur oleh suatu apa pun.
Cinta orang yang khawash al-khawash (sangat istimewa) ialah sudah mengarah pada rindu (syo) terhadap Yang Dikasih (Allah).
Stasiun keenam ialah al-Syauq
Stasiun keenam ialah al-Syauq yaitu kuatnya dorongan hati Jawa: branta) untuk bertemu dan menyaksikan Yang Dikasih. la bagaikan api yang menyala di hati sang 'asiq' (yang kasih) sehingga membakar apa yang terdapat di dalam hatinya dari segala bentuk keinginan dan kebutuhan. Sifat ini tumbuh dari pengaruh cinta. Ketika demikian, seorang hamba sangat mendambakan segera bertemu dengan Dia.
Ketujuh, stasiun al-Wajdu,
Stasiun al-Wajdu, yaitu suatu perasaan yang datang kepada hati dari akibat terbukanya rahasia zat dan cahaya-Nya. Sampai di sini seseorang sudah merasakan kenikmatan berada sedekat mungkin dengan Allah SWT.
Dzikir Asmaul Husna
Persoalan selanjutnya ialah tentang nama Allah yang satu, dan jaminannya masuk surga bagi yang me-ladadhkannya.
Nama-Nya Yang Agung (ismu Allah al-A dlam), seperti arti hadits, "Nabi mendengar ucapan seorang laki-laki yang menyatakan, 'Hai Tuhan, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu bahwa sesungguhnya Engkau adalah Zat yang Tunggal, yang menjadi tempat bergantungnya segala sesuatu, yang tidak beranak dan diperanakkan, dan tiada sekutunya bagi-Nya',
maka Rasul saw bersabda,
'Sungguh dia telah meminta dengan nama-Nya Yang Agung, yang dengannya, apa yang diminta dan yang dimohonkan akan diberi dan dijabahi (HR Ibn Majah)."
Masih banyak lagi teks hadits yang menyatakan seperti tersebut yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Abu Dawud.
Namun yang perlu diketahui, hadits seperti ini disampaiKan oleh Nabi saw. pada awal perkembangan Islam, sehingga penanaman tauhid pada waktu itu sangat dibutuhkan.
Dengan demikian, seseorang tidak cukup hanya membaca Satu nama saja kemudian dijamin masuk surga, tanpa harus diikuti amaliah lain atau hadits seperti ini hanya dipahami sebagai upaya meningkatkan amal kebaikan semata-mata (lifadla il al- a 'ma).
Referensi : Tasawuf Kontektual (Prof. Dr. H,M. Amin Syukur,MA)