Hukum Bersetubuh Dengan Istri Yang Sedang Haidh

Hukum Bersetubuh Dengan Istri Yang Sedang Haidh

Hukum Bersetubuh Dengan Istri Yang Sedang Haidh - Apa hukumnya menggauli istri yang sedang haid? 

Hukum Bersetubuh Dengan Istri Yang Sedang Haidh
 

وَيَسْـَٔلُونَكَ عَنِ ٱلْمَحِيضِ ۖ قُلْ هُوَ أَذًى فَٱعْتَزِلُوا۟ ٱلنِّسَآءَ فِى ٱلْمَحِيضِ ۖ وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىٰ يَطْهُرْنَ ۖ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ ٱللَّهُ

Artinya :
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci.Maka apabila telah bersuci ( mandi ) datangilah/ setubuhilah mereka mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu." (QS Al-Baqoroh : 222)

Segi Medis

Menggauli istri yang sedang haid, dapat menyebabkan membusuknya rahim dan parahnya lagi dapat pula mengakibatkan kemandulan.

 

Kondisi haid apabila disetubuhi bisa berakibat infeksi pada rahim, dan panas badan yang tinggi Sedang kepada suami dapat berakibat gangguan saluran kencing, gangguan pada kelenjar kemih dan lain-lain penyakit kelamin.

Segi Agama

Dari segi agama, menggauli istri yang sedang haid hukum nya ialah "Kaffaaroh" (Yang Harus mengeluarkan denda). Riwayat Ibnu Abbas r.a; Sabda Rasulullah saw: 

Yang menggauli (bersenggama) dengan istri sedang haid hendaknya bersedekah satu dinar atau setengah dinar". (Muttafaqun Alaihi).

Dikuatkan oleh Riwayat Ahmad, dengan perawi yang sama, yaitu dari Ibnu 'Abbas 

dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentang orang yang mendatangi istrinya saat haidh, maka ia mensedekahkan satu dinar atau setengah dinar. (HR. Ahmad) [1]

Maka, apabila seseorang bergaul dengan istri yang haid, wajib hukumnya bersedekah.

Batasan Suami Mendatangi Istri Yang Sedang Haid

Bagi kaum Yahudi, mereka mempunyai kebiasaan saat istri-istri mereka sedang haid sama saat ketika hamil. Yaitu tidak mendatangi mereka dan berkumpul disaat-saat tertentu didalam rumah. Maka Rasulullah memberikan batasan kepada istri-istri yang sedang haid saat sahabat bertanya mengenai hal tersebut. Perlakukanlah istri kecuali berjima (bersetubuh), dari Anas berkata;
 

"Bahwasanya orang-orang yahudi jika istri-istri mereka hamil, mereka tidak mau makan bersama dan tidak mau menggaulinya dalam rumah. Maka para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bertanya tentang hal itu, lalu Allah 'azza wajalla menurunkan ayat: (Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "haidh itu adalah suatu kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci..) (QS. Albaqarah 222), hingga akhir ayat. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Lakukanlah sekehendak kalian kecuali nikah (senggama)." Hal itu pun akhirnya sampai kepada orang-orang yahudi, lalu mereka berkata; "Orang ini pernah meninggalkan perkara kita sama sekali, kecuali ia pasti menyelisihinya." Kemudian datanglah Usaid bin Hudlair dan 'Abbad bin Bisyr kepada Rasulullah dan berkata; "Wahai Rasulullah, sesungguhnya orang-orang yahudi mengatakan begini dan begini, maka tidakkah kita menyetubuhi istri-istri (kita)?" maka berubahlah wajah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam hingga kami mengira bahwa beliau marah kepada mereka berdua. Akhirnya keduanya keluar, setelah keduanya pergi, datanglah hadiah yang berupa susu kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, dan beliau suruh untuk menyusul keduanya, kemudian beliau beri minum keduanya, setelah itu mereka mengetahui bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam tidak marah kepada keduanya. Telah menceritakan kepada kami Abdullah, dia berkata; aku mendengar bapakku berkata; Hammad tidak pernah memuji dan menyanjung sesuatu dari hadisnya kecuali hadis ini karena bagusnya. (HR. Ahmad) [2]

 

Semua hal yang dilakukan selain farji (kemaluan), dari seorang lelaki di antara sekelompok kaum yang bertanya kepada Umar Bin Al Khaththab;
 


"Kami datang kepadamu hanya untuk menanyakan kepadamu tentang tiga hal; tentang shalat sunnahnya seorang lelaki di rumah, tentang mandi dari junub dan tentang apa yang diperbolehkan bagi laki-laki dari istrinya yang sedang haid." Maka Umar menjawab; "Apakah kalian tukang sihir, kalian telah menanyakan kepadaku sesuatu yang tidak pernah ditanyakan oleh seorangpun sejak aku menanyakannya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" Maka dia berkata; "Shalat sunnahnya seorang lelaki di rumahnya adalah cahaya, maka barang siapa yang berkehendak terangilah rumahnya." Dan dia menerangkan tentang mandi dari junub; "Hendaknya mencuci kemaluannya kemudian berwudlu kemudian menyiram ke kepalanya sebanyak tiga kali" dan dia menerangkan tentang istri yang sedang haid; "Baginya adalah apa yang ada di atas kain (selain farji)."(HR. Ahmad)


Rasulullah saw Mencumbui Istrinya Yang sedang Haid

Selain bersetubuh dengan istri yang sedang haidh yang boleh dilakukan ialah termasuk mencumbuinya, hal tersebut telah dicontohkan oleh Nabi saw. dari 'Aisyah berkata,

 

"Aku dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah mandi bersama dari satu bejana. Saat itu kami berdua sedang junub. Beliau juga pernah memerintahkan aku mengenakan kain, lalu beliau mencumbuiku sementara aku sedang haid. Beliau juga pernah mendekatkan kepalanya kepadaku saat beliau i'tikaf, aku lalu basuh kepalanya padahal saat itu aku sedang haid." (HR. Bukhari) [3]

Maimunah istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata,
 

"Jika Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ingin mencumbu salah seorang dari isterinya, beliau memerintahkannya untuk mengenakan sarung. Maka ia pun mengenakan sarung, sementara ia sedang haid." (HR. Bukhari) [4]

dari 'Aisyah ia berkata, 

"Jika salah seorang dari kami sedang mengalami haid dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berkeinginan untuk bermesraan, beliau memerintahkan untuk mengenakan kain, lalu beliau pun mencumbuinya." 'Aisyah berkata, "Padahal, siapakah di antara kalian yang mampu menahan hasratnya sebagaimana Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menahan." (HR. Bukhari)[5]

 

Catatan Kaki

[1] Musnad Ahmad hadis nomor 1928
[2] Musnad Ahmad hadis nomor 11904
[3] Shahih Bukhari hadis nomor 290 (Lihat: Fathul Bari Ibnu Hajar)
[4] Shahih Bukhari hadis nomor 292 (Lihat: Fathul Bari Ibnu Hajar)
[5] Shahih Bukhari hadis nomor 291 (Lihat: Fathul Bari Ibnu Hajar)