Pandangan Islam Ketika Istri Bertemu Mantan Suami

Pandangan Islam Ketika Istri Bertemu Mantan Suami

Pandangan Islam Ketika Istri Bertemu Mantan Suami

Bolehkah seorang wanita bertemu dan berbicara dengan bekas suaminya?

Pandangan Islam Ketika Istri Bertemu Mantan Suami - Bila seorang istri dicerai oleh suaminya dan masa iddahnya berakhir, maka bekas suaminya itu menjadi orang lain baginya.
Mereka boleh berjumpa, tetapi dilarang berduaan, sebab berdua duannya laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom, haram hukumnya.
 

Sabda Rasulullah

 

"Dan tiada berduaan laki-laki dan perempuan, kecuali yang ketiganya adalah setan".
 

Tetapi bila perjumpaan itu tidak berduaan dan dengan batas-batas syariat agama dan dengan adab kesopanan dan pakaian yang sesuai dengan hukum syariat, dan dihadapan orang banyak dan sesudah berakhir masa iddah, maka hal itu tidak dilarang

Seorang Wanita Yang di Talak Raj'i (yaitu talak yang boleh diruju')

Adapun bila masih dalam masa iddah dari talak raj'i /ruj'i yang pertama atau yang kedua, maka tidak ada halangan bagi mereka untuk bertemu dan berduaan. Bahkan Islam mengharuskan mereka untuk tetap tinggal di bawah satu atap dengan masing-masing tidak meninggalkan rumah.



...Ketika berita Marwan sampai kepada Fathimah yang mengatakan bahwa antara saya dan kamu ada Al Qur`an, di mana Allah 'azza wajalla telah berfirman: "Janganlah kamu perbolehkan mereka keluar dari rumah-rumah mereka". Maka Fathimah menjawab; Ini bagi seorang wanita yang di talak raj'i (yaitu talak yang boleh diruju'), lalu apa yang terjadi setelah talak tiga, bagaimana kamu mengatakan tidak berhak mendapatkan nafkah melainkan jika hamil. Maka atas dasar apa kamu mencegahnya." (HR. Muslim) [1]

Memang banyak terjadi kesalahan dan pelanggaran terhadap norma-norma agama, yaitu bila istri dicerai lalu marah, malu dan meninggalkan rumah dan pergi ke rumah orang tuannya, atau si suami meninggalkan rumahnya.
 

Lebih buruk lagi bila suami yang menyatakan menceraikan istrinya, lalu mengusirnya dari rumah.

Firman Alah:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِىُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا۟ ٱلْعِدَّةَ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ رَبَّكُمْ ۖ لَا تُخْرِجُوهُنَّ مِنۢ بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّآ أَن يَأْتِينَ بِفَٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ
 

Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka agar (menghadapi) iddahnya (yang wajar), dan| hitunglah waktu iddah itu serta bertawakallah pada Allah. Janganlah kam keluarkan mereka dari rumah mereka, dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang'. (Attalaq 1).
 

Kecuali kalau istri melakukan perbuatan keji seperti tindak pidana, bermusuhan dan tidak sopan terhadap mertua, ipar dan sebagainya, maka dalam hal seperti itu diperkenankan berpisah selama masa iddah.
 


dari [Ibnu Umar] ia berkata; Apabila empat bulan telah berlalu, ia dihadapkan hingga ia menceraikannya. Dan perceraian itu tidak sah kecuali setelah ia benar-benar menceraikannya. (HR. Bukhari) [2]

 

Pendapat untuk iddah dimana saja

Pendapat untuk iddah dimana saja berdasar pada hadis dari Mujahid


terkait dengan firman Allah: Dan orang-orang yang meninggal diantara kalian dan meninggalkan isteri (QS. Albaqarah 240), dahulu iddah yang dilakukan seorang isteri di rumah suaminya adalah wajib, lantas Allah menurunkan ayat; "WALLADZI YUTAFFAUNA MINKUM WA YADZARUUNA AZWAAJAW WASHIYYATAL LIAZWAAJIHIM MATAA'AN ILAL HAULI GHAIRA IKHRAAJ FAIN KHARAJNA FALAA JUNAAHA 'ALAIKUM FIIMAA FA'ALNAA FII ANFUSIHINNA MIM MA'RUUF." "Dan orang-orang yang meninggal diantara kalian dan meninggalkan isteri, hendaklah menyampaikan wasiat kediaman isteri dan nafkah kepada isterinya selama setahun dengan tidak menyuruh mereka agar keluar, namun jika para isteri yang ditinggal suaminya itu keluar rumah, maka tiada ada dosa bagimu atas perbuatan yang mereka lakukan' (QS. Albaqarah 240). Ia menjelaskan, "Allah menjadikan kesempurnaan sunnah adalah selama empat bulan dua puluh hari, sebagai wasiat. Bila ia mau, maka oleh boleh tetap pada wasiatnya. Dan jika tidak, ia boleh keluar. Itulah yang dimaksud dengan firman Allah, 'GHAIRA IKHRAAJ, FA`IN KHARAJNA FALAA JUNAHA 'ALAIKUM (dengan tidak menyuruh si isteri untuk pergi, jika isteri itu pergi, maka tidak ada dosa atas kalian), Yakni, masa 'Iddah sebagaimana yang diwajibkan atasnya. ['Atha`] berkata; [Ibnu Abbas] berkata; Ayat ini dinasakh (dihapus) bahwa ia melalui masa iddahnya di rumah suaminya. Karena itu, ia boleh melalui masa iddahnya di mana pun ia mau." Dan firman Allah Ta'ala: "Ghaira Ikharaaj" Ahta` berkata; Bila ia mau, maka ia boleh melalui masa iddahnya di rumah suaminya atau berdiam pada washiyatnya. Dan bila ia mau, ia boleh keluar karena firman Allah: "FALAA JUNAAHA 'ALAIKUM FIIMAA FA'ALNA FII ANFUSIHINNA." (Maka tak ada dosa atasmu atas perbuatan yang mereka lakukan) Atha` berkata; Kemudian turunlah ayat warisan dan terhapuslah As Sukna (tempat wanita berdiam), hingga ia pun boleh beriddah di mana pun ia suka, dan tidak ada tempat tinggal baginya. (HR. Bukhari) [3]

 

Hikmah Berkumpul di bawah satu Atap

Hikmah berkumpul di bawah satu atap selama masa iddah ialah memberi kesempatan bagi keduanya untuk mengoreksi diri, membersihkan hati dan berpikir matang, yang dapat menimbulkan penyesalan, sehingga mereka mempunyai keinginan untuk rukun kembali dan rujuk dalam suasana lebih baik dari sebelumnya.


Mantan Suami Paling Berhak Untuk Kembali Pada Mantan Istrinya

Allah telah menetapkan bahwa bagi laki-lai yang hendak kembali pada mantan istrinya yang telah diceraikan, maka tak ada seorangpun yang boleh menghalang-halanginya. Dari Sebuah hadis yang diceritakan dari Yunus dari Al Hasan, ia berkata

Terkait dengan Firman Allah: "FALAA TA'DLULUUHUNNA.." Ia berkata; Ma'qil bin Yasar telah menceritakan kepadaku, bahwa ayat itu turun berkenaan dengan dirinya. Ia berkata; Aku menikahkan saudara perempuanku kepada seorang laki-laki, kemudian ia menceraikannya. Lalu ketika masa iddahnya habis laki-laki itu datang kembali maka kukatakan kepadanya, "Aku telah menikahkanmu, dan memuliakanmu lalu kamu menceraikannya, kemudian saat kamu datang untuk meminangnya kembali, tidak, demi Allah, adikku itu tidak akan kembali kepadamu selama-lamanya." Sebenarnya, tidak ada masalah pada laki-laki itu dan saudara perempuanku juga mau ruju' kepadanya, maka Allah pun menurunkan ayat ini, "FALAA TA'DLULUUHUNNA.." Karena itu, aku pun berkata, "Sekarang aku akan melakukannya wahai Rasulullah." Maka ia pun menikahkan wanita itu kepadanya.  (HR. Bukhari)[4]

Laki-laki apabila menceraikan isterinya maka ia adalah orang yang paling berhak untuk kembali kepada mantan istrinya tersebut, Riwayat hadis dari Ibnu Abbas, ia membaca ayat: 

"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya." Hal tersebut bahwa seorang laki-laki apabila menceraikan isterinya maka ia adalah orang yang paling berhak untuk kembali kepadanya, dan walaupun ia menceraikannya sebanyak tiga kali. Kemudian hal tersebut dihapus, dan Allah berfirman: "Talak (yang dapat dirujuki) dua kali."  (HR. Abu Daud) [5]

Rasulullah saw pun pernah menikahi lagi istrinya yang bernama Hafshah setelah diceraikan/di talak, kisah ini telah diriwayatkan oleh sahabat nabi, Ibnu Abbas dari Umar

bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mentalak Hafshah lalu merujukinya kembali. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah) [6]

 

Dilarang untuk menghalang-halangi bagi laki-laki yang ingin menikahi kembali mantan istrinya, dari Al Hasan


bahwa saudara perempuan Ma'qil ditalak suaminya dan meninggalkannya hingga habis masa iddahnya. Kemudian dia meminangnya lagi, namun Ma'qil menolaknya. Maka turunlah ayat; Jangalah kamu halangi mereka untuk menikah lagi dengan suaminya. (QS. Albaqarah 232). (HR. Bukhari) [7]

 

Bila Wanita ruju Dengan Suami Lama Namun Telah Bersuami

Larangan bagi wanita yang ingin kembali rujuk kepada manta suami, namun ia telah menikah dan suaminya yang sekarang belum merasakan "madu" darinya, begitu pun sebaliknya.

bahwa [Aisyah] Telah mengabarkan kepadanya bahwa isteri Rifa'ah Al Qurazhi datang menghadap Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan berkata, 

"Wahai Rasulullah, sesungguhnya Rifa'ah telah menceraikanku dan mengokohkan perceraian denganku. Setelah itu, aku pun menikah dengan Abdurrahman bin Az Zubair Al Qurazhi, dan ternyata kelelakiannya hanyalah seperti ujung kain." Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun bersabda: "Sepertinya kamu ingin kembali ruju' dengan Rifa'ah, tidak, hingga laki-laki kedua merasakan madumu dan kamu pun merasakan madunya." (HR. Bukhari)[8]

 

Catatan Kaki

[1] Shahih Muslim hadis nomor 2714 (Lihat: Syarh Shahih Muslim Nawawi)
[2] Shahih Bukhari hadis nomor 4881 (Lihat: Fathul Bari Ibnu Hajar)
[3] Shahih Bukhari hadis nomor 4925 (Lihat: Fathul Bari Ibnu Hajar)
[4] Shahih Bukhari hadis nomor 4735 (Lihat: Fathul Bari Ibnu Hajar)
[5] Sunan Abu Daud hadis nomor 1876 (Lihat: Aunul Mabud)
[6] Sunan Abu Daud hadis nomor 1943 (Lihat: Aunul Mabud) / Sunan Ibnu Majah hadis nomor 2006 (Lihat: Hasyiatus Sindi Ibnu Majah)
[7] Shahih Bukhari hadis nomor 4165 (Lihat: Fathul Bari Ibnu Hajar)
[8] Shahih Bukhari hadis nomor 4856 (Lihat: Fathul Bari Ibnu Hajar)