Islam Dan Tasawuf Mistik Kejawen

Islam Dan Tasawuf Mistik Kejawen


Islam Dan Tasawuf Mistik Kejawen - Ketika Islam masuk ke Nusantara dan Tanah Jawa, para ulama banyak menggunakan berbagai macam metode dalam penyampaiannya. Demikian mereka lakukan untuk membaur dengan budaya masyarakat jawa.

Islam Dan Tasawuf Mistik Kejawen

Semua prinsip dalam mistik kejawen, hanya mempunyai satu tujuan, yaitu Manunggaling Kawula Gusti, menjadi hamba yang sempurna kepada Tuhannya.


Dasar Mistik Kejawen

Pengertian misik menurut Damardjati Supadjar (1978 81-82), (a) soal-soal ghaib, rahasia-rahasia terdalam, (b) eksistensi tertinggi, lenyapnya segala perbedaan, kesatuan mutlak hal ihwal, dasar dari segala pengalaman, ketiadaan, (C) Pamoring kawula Gusti (unio-mystica), puncak kecintaan makhluk terhadap Khaliknya, sebagai suatu pengalaman dan aktivitas spiritual, disertai peniadaan/pengabdian dini, bukannya teoritis tetapi praktis.

Secara komparatif di bawah ini hendak dijelaskan konsep-konsep mistik antara Serat PamoringKawula Gusti, Serat Wedhatama, dan Serat Bimapaksa.

Serat Pamoring Kawula Gusti yang memuat pokok-pokok ajaran mistik Islam Kejawen R. Ng. Ranggawarsita ini bisa dibaca diperpustakaan Museum Radyapustaka di Surakarta. Buku kecil ini ditulis dalam huruf dan Bahasa Jawa, berbentuk tembang macapat (puisi atau nyanyian Jawa) (Simuh, 1995: 234).

R. Ng. Ranggawarsita sebagaimana dikutip Simuh, menjelaskan bahwa seseorang harus mempelajari dengan baik kesempurnaan tentang mati yang sempurna yang beliau namakan Kiamat Kubra. Sebab menurut pokok ajaran R. Ng. Ranggawarsita, masalah kematian merupakan masalah yang teramat rumit dalam kehidupan manusia. Masa sakaratul maut manusia akan dihadapkan pada godaan-godaan dan hambatan-hambatan yang amat rumit serta dapat menyesatkan. Tanpa ilmu pengetahuan tentang kematian yang sempurna pasti akan terjerumus ke dalam alam kesesatan. Jika salah langkah sedikit saja akan binasa dan terjerumus ke dalam kerajaan kesesatan, menjadi sebangsa jin, setan, demit, dan brakasakan.

Masa sakaratul maut ini harus teguh jangan sampai tergoda oleh perwujudan-perwujudan yang indah permai, harus awas, dan bijaksana terhadap keraton sejati. Bukan tempat kesempurnaan atau paraning pati yang sempurna. Agar hati tidak selalu was-was lagi, kesucian dari Serat Piwulang (kitab Al Qur'an dan lain-lain) yang harus jadi petunjuknya. Orang-orang berkecukupan harta benda dan ilmu serta suka mendermakan harta serta ilmunya juga dapat mencukupi kebutuhan demi hidup matinya, amal seperti ini adalah yang palingutama. Pasti akan tangkas serta tidak khawatir dalam menghadapi godaan-godaan yang sebenarnya berasal dari empat saudara kita sendiri dan pusat yang kelimanya. Akhirnya dapat tercapai semua kehendaknya dalam hidup di dunia hingga ke alam akhirat baka (Simuh, 1995:238-239).

Manusia perlu mengusahakan terus sepanjang waktu hidupnya untuk mencapai keselamatanjiwa raga. Lahirlaku tidak boleh menyimpang dari syariat dan tarekat. Sedang laku batin agar tidak menyimpang dari hakikat serta makrifat. Tidak boleh melanggar janji dan melanggar petunjuk agama (syarak). Tingkah laku manusia betul atau salahnya hanya sekali saja. Apabila tingkah laku manusia di dunia telanjur sälah, nanti sampai datangnya hari kematian akan binasa. Sebaliknya apabila tingkah laku kita baik dan benar, nanti di alam kematianjuga mendapat kemuliaan yangbersifat kekal.


Aneka Tapa Brata

Manusia di dunia harus selalu berusaha untuk mendapatkan pengalaman manunggaling kawula Gusti.

Segala tingkah laku adalah kehendak Tuhan, agar apabila sewaktu-waktu maut datang menjemput sudah tidak samar-samar lagi terhadap pamoring kawula Gusti. Maka dianjurkan agar setiap manusia berusaha menjalankan tujuh macam tapa, yaitu:

Tapajasad, 

Tapajasad yakni laku badan jasmani. Hati agar dibersihkan dari sifat benci dan sakit hati, rela atas nasibnya, merasa dirinya lemah, tak berdaya. Hal ini merupakan tingkah laku yang berada dalam tataran syariat.


Tapa budi

Tapa budi, yaitu laku batin atau laku tarikat. Hati harus jujur, menjauhi berbuat dusta, segala janji harus ditepatinya,


Tapa hawa nafsu

Tapa hawa nafsu, yakni berJiwa sabar dan alim serta suka memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain. Walaupun kita di aniaya orang lain, lebih baik diserahkan kepada Allah SWT, agar diampuni dosanya. Kaping tiga tapaning hawa natsu, nglakoni sabarlan alim, ngaksamna sasamingipun, nadyan sira pinisakit, tuwuk upa mring Hyang Manon.


Tapa brata

Tapa brata atau tapa rasa jati, yakni agar memaksa diri melakukan semedi, mencapai ketenangan batin (bening-beningenna kalbu)


Tapa sukma

Tapa sukma, yaitu bermurah hati (ambekparama arta) dengan ikhlas rela mendermakan apa yang dimiliki. Jangan suka mengganggu orang lain dan agar mengemong hati orang lain.


Tapa cahaya

Tapa cahaya yang memancarkan (cahya anmuncar), yaitu agar hati selalu awas dan ingat, mengerti lahir batin, sanggup mengenal yang rumit antara yang palsu dan yang sejati. Selalu mengutamakan tindak yang mendatangkan keselamatan, suka membuat terang hati orang yang sedang kesulitan dengan jalan mendermakan tenaga, harta, dan pikirannya (lmunya).


Tapa hidup (tapaning urip)

Tapa hidup (tapaning urip), yakni hidup dengan penuh kehati-hatian dengan hati yang teguh, dengan hati percaya teguh tidak khawatir terhadap apa yang akan terjadi lantaran yakni akan kebijakan Allah SWT.

Pokok-pokok pikiran yang diajarkan oleh R. Ng. Ranggawarsita itu merupakan pengungkapan dasar-dasar ajaran Islam ke dalam gaya hidup Jawa, terutama ajaran tasawuf atau mistik Islam (Simuh, 1995: 240-241)


Sembah Raga, Cipta, Jiwa, Rasa

Serat Wedhatama merupakan karya K.G.P.A.A Mangkunegara IV Serat Wedhatama disejajarkan dengan karya-karya R. Ng. Ranggawarsita karena antara keduanya mempunyai kaitan yang sangat erat.

Serat Wedhatama adalah suatu kitab yang ringkas dan padat. Disusun dalam bentuk sekar macapat dengan sastra yang amat indah, sehingga sangat digemari oleh para pencinta kepustakaan dan kesenian Jawa. Isi kandungannya yang paling menonjol adalah pelajaran tuntunan budi luhur dan pedoman tingkah laku yang utama bagi para priyayi serta keluarga istana. Namun inti yang terdalam yang mendasari pandangan-pandangan moral di dalam Serat Wedhatama adalah mistik. Oleh karena itu, konsep-konsep etika dalam Serat Wedhatama tidak akan dapat dipahami secara utuh tanpa memperhatikan paham mistik yang terkandung di dalamnya. Serat Wedhatama termasuk salah satu pendukung kepustakaan Islam Kejawen atau lebih tepatnya kepustakaan Mistik Islam Kejawen. Oleh sebab itu, tidak bisa dipahami secara baik tanpa pengenalan terhadap pokok-pokok ajaran mistik slam atau tasawuf pada umumnya. Serat Wedhatama banyak mengungkapkan istilah-istilah dan konsep moral yang bersumber pada ajaran tasawuf, maka pengenalan terhadap ajaran tasawuf melupakan tangga bagi pemahaman kandungan Serat Wedhatama (Simuh, 1995: 249-250).

Uraian tentang Tuhan, yakni mengenai dzat, sifat, asma dan afal-Nya, hampir tidak tersinggung dalam Serat Wedhatama. Namun dalam beberapa bait terdapat uraian yang mencerminkan bahwa Tuhan dinyatakan bersemayam atau immanensi dalam diri manusia (Simuh, 1995: 250).

Serat Wedhatama menerangkan bahwa tujuan hidup yang tertinggi adalah mencapai kesatuan kembali dengan Tuhan. Ungkapan Serat Wedhatama dinyatakan sebagai pamoring suksma atau roroning atunggal Ilmu mistik yang berusaha mencapai penghayatan manunggal dengan Serat Wedhatama disebut ngelmu kangnyata/ngelmu luhung/ngelmu hakikat'". IImu ini lebih tinggi derajatnya daripada ngelmu karang (ilmu yang dikarang-karang). Untuk mempelajari dan mendapatkan ngelmu nyata ini orang harus berguru pada seorang guru.

Ungkapan Serat Wedhatama, guru ini dinyatakan sebagai sarjana kang martapi, para pertapa yang bijaksana. Jalan untuk mencapai penghayatan manunggall dengan Tuhan dalam Serat Wedhatama dirumuskan jadi sembah catur (empat macam sembah), yaitu sembah raga, cipta, jiwa, dan rasa. Keempat macam sembah ini secara berurutan merupakan gubahan dari keempat tingkat dalam pengalaman ajaran tasawuf sembah raga adalah syariat, sembah cipta adalah tarikat, sembah jiwa adalah hakikat, sedang sembah rasa adalah makrifat. Keempatnya adalah gubahan dari syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat (Simuh, 1988: 252).

Selanjutnya diterangkan bahwa sembah raga sucinya dengan air, menjalankan shalat lima waktu dan berpegang pada aturan-aturan syari'at. Adapun sembah kalbu (cipta), sucinya tanpa air akan tetapi menahan dan mengurangi kridanya hawa nafsu. Pengenalan Tuhan dilakukan dengan penguasaan batin dan berlatih secara tekun, tertib dan teratur.

Berlatih mengheningkan cipta untuk menanti terbukanya alam- ghaib eneng, ening, dan eling(hening, awas, dan ingat). Sembah jiwa (hakikat) diterangkan merupakan puncak akhir dari laku batin. Sucinya dengan hati awas dan ingat. Berusaha menggulung alam raya ke alam batin (fàsad gedheginulung lan jagad cilik). Apabila mendapat anugerah Tuhan kalbu akan terbuka ke alam batin dan penghayatan ghaib mulai dialaminya. Diri pribadinya akan nampak terang benderang, terlihat serupa dengan Tuhan yang laksana bintang gemerlapan. Sembah rasa akan terlaksana tanpa petunjuk apapun hanya terasa dalam batin. Segalanya menjadi terang benderang, segala was-was hati telah punah sama sekali, jiwa raganya berserah diri pada takdir Tuhan (Simuh, 1995: 252-253).

Ajaran kawula Gustimengenai aspek lahiriah justru lebih banyak menyentuh masalah-masalah yang berhubungan dengan harmonitas sosial. Yang dimaksud dengan kawula Gusti pada aspek lahiriahnya ialah yang mengenai kenyataan dalam kehidupan sehari-hari perihal tatanan tinggi rendah, besar, kecil, masing-masing menurut wilayah sendiri.

Diantara kesemuanya itu terpokok adalah mengenai rakyat dan pemimpin. Apabila masing-masing pihak menetapi kewajiban dan haknya, maka akan tercapailah kesejahteraan umum, berkat keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara lahir dan batin (badan dan jiwa), rakyat dan pemimpin, kawula dan Gusti (Damarjati Supadjar, 1993:215).

Serat Bimapaksa menyebutkan istilah manunggaling kawula Gustidan diterangkan dengan istilah curiga canjing warangka, pada bait, tembang Asmaradana:

Sejatine Dewarua, nggh n Sang GuruJagad, ingkang karsa medharake, kanugrahaning suksmana, bab sampurnaning gesang, marang titah kang anggayuh, kasucening gesangira, Ananging Sang Dewaruci, denira mbabarpapadhang mawi warana wiyose, manuksma Sang Arya Sena.

Marma Sang Bimapaksa, denira mahambeg wiku, sajatine tanpa karsa, 

Amung sadarmi nglampahi, saking karsaning suksma, tan bangkit ambatalake, manuksmane Ruci Dewa, dhateng Sang Harya Sena, punika teteping tembung warangka manjing curiga (Serat Bimapaksa, pp 3, pd 15-17).

Terjemahan:

Sesungguhnya Dewaruci, ya Sang Guru Jagad, yang hendak mengungkapkan, anugerah Suksmana, bab kesempurnaan hidup, pada hamba yang menggapai, kesucian hidupnya,

Tetapi Sang Dewaruci, olehnya mengungkap keterangan, dengan tirai keluarnya, menjelma Sang Harya Sena, maka Sang Bimapaksa, olehnya menjadi wiku, sesungguhnya tanpa kehendak, Hanya sekedar menjalankan, dari kehendak Suksmana, tak mampu membatalkan, penjelmaan Ruci Dewa, pada Sang Arya Sena, demikian ketetapan kata, warangka manjing curiga.


Manunggaling Kawula Gusti

Konsep mistik manunggaling kawula Gusti, curiga manjing warangka dalam Serat Bimapaksa secara teologis menjelaskan tata laksana hubungan manusia dengan Tuhan, secara sosiologis menjelaskan tata laksana hubungan manusia dengan sesama, dan secara ekologis menjelaskan tata laksana hubungan manusia dengan lingkungan.

Ajaran mistik mendapat penghayatan tinggi dalam Serat Bimapaksa. Ajaran ini disebut juga ngelmu kasampurnan, yaitu ilmu yang membuat hidup manusia menjadi sempurna. Penghayatan ini kelihatannya merupakan pengaruh dari ajaran tasawuf. Penganut tasawuf umumnya memandang orang yang berhasil mendapatkan makrifat dengan Tuhan sebagai insan kamil (manusia sempurna) seperti wali Allah SWT (kekasih Allah SWT) yang memiliki kemampuan Iuar biasa yang disebut keramat (Simuh, 1988: 241).

Pada Serat Bimapaksa ilmu ketuhanan disebut ngelmu sangkan paran. Mengenal Tuhan berarti mengenal asal kejadian manusia, yang sekaligus tempat kembalinya di kemudian hari. Hal ini merupakan penafsiran kejawen terhadap ajaran Islam "inna lillahi wa inna ilaihi raji'un " (QS. Al-Baqarah: 156)

Inti ajaran Serat Bimapaksa misalnya adalah pengertian tentang Tuhan. Pengertian ini disebut sebagai air suci yang sangat menentramkan hidup Arya Bima. Oleh karena itu, ilmu tentang Tuhan sebagai sangkan paran hidup manusia, dalam kejawen dinamakan kasampurnan atau kawruh sangkan paraning dumadi.

Seseorang yang diberi kekuatan untuk dapat melihat bayangan khayal (visoen) dari berbagai peristiwa yang sedang atau bakal terjadi adalah yang dapat melihat gambaran khayal dari peristiwa itu di dalam tidurnya.

Peristiwa-peristiwa demikian tidak hanya menyangkut penistiwa di dalam penglihatan (optis), tetapijuga menyangkut peristiwa-peristiwa yang dapat didengarkan (accustis).

Dalam hal ini, si penerima dapat mendengarkan atau melihat tulisan atau kata-kata tertentu, atau bahkan dia sendiri yang mengucapkan kata-kata di luar kemampuannya.

Peristiwa semacam ini disebut ilham dan merupakan wahyu tertinggi bagi manusia biasa (Paryana, 1994: 218).

Serat Bimapaksa menjelaskan kemampuan Bima dalam menatap batin terdalam dan juga hamparan dunia lahir. Semuanya itu dijalankan dengan penuh kesungguhan dan keikhlasan, sehingga mampu menegakkan kebenaran, kebaikan dan keindahan sebagaimana yang dikatakan oleh Radhakrishnan (1953) sebagaimana dikutip Damardjati Supadjar di bawah ini:

The World is dharmasetra, the bettleground for a moralstruggle The decisive issue lies in the hearts of men where the battles are fought daily and hourly The ascent from earth to heaven, from suffeing to spirit, is through the path of dharma.


Integrasi pikir dan dzikir itu adalah langkah awal untuk masuk ke dalam Teori Medan Terpadu, suatu hal yang menjadi bahan diskusi antara Albert Einstein dan Rabindranath Tagore, ketika kedua tokoh itu mengadakan pertemuan puncak pada tanggal 14 Juli 1930. Pertemuan antara kedua beliau sungguh suatu puncak, yaitu hakikat realita sebagaimana dikatakan oleh Rabindranath Tagore, 1953:222.

Hal yang sama itu, terutama tentang "medan terpadu itu juga dijadikan bahan perbincangan antara Einstein dengan R.M.P. Sosrokartono, ketika keduanya bertemu satu sama lain di Eropa, lama sebelum Einstein memformulakannya pada tahun 1949 (Damardjati Supadjar, 1993: 125).

Realitas/alam semesta ini terdiri di atas prinsip keikhlasan. Di dalamnya residu pun didaur ulang, sehingga kembali mendatangkan kemanfaatan (Damardjati Supadjar, 1993:131). Tertib alam tidak akan meninggalkan polusi bagi komunitas satu dengan yang lain, 

Referensi

Dr. Purwadi - Tasawuf Jawa