Dalami Makna Hadis Sunnah Khabar dan Atsar

Dalami Makna Hadis Sunnah Khabar dan Atsar

Hadis

Kata hadis (Arab: hadits) secara etimologis berarti "komunikasi, cerita, percakapan, baik dalam konteks agama atau duniawi, atau dalam konteks sejarah atau peristiwa dan kejadian aktual." Penggunaannya dalam bentuk kata sifat atau adjektiva, mengandung arti al-jadid, yaitu: yang baharu, lawan dari al-qadim, yang lama. Dengan demikian, pemakaian kata hadis disini seolah-olah dimaksudkan untuk membedakannya dengan Al-Qur'an yang bersifat qadim.

Di dalam Al-Qur'an, terdapat 23 kali penggunaan kata hadis dalam bentuk mufrad atau tunggal, dan 5 kali dalam bentuk jamak. Keseluruhannya adalah dalam pengertiannya secara etimologis di atas. Hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa, contoh berikut:

1. Pengertiannya dalam konteks komunikasi religius, wahyu, atau Al-Qur'an

Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al-Qur'an... (QS A1-Zumar [39]: 23).

Maka serahkanlah (ya Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan Al-Qur'an ini.... (QS Al-Qalam [68]: 44).

2. Dalam konteks cerita duniawi atau cerita secara umum

Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain (QS Al-An'am [6]: 68).

3 Dalam konteks sejarah atau kisah masa lalu

Dan apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? (QS Thaha [20]: 9).

4. Dalam konteks cerita atau percakapan aktual

Dan ingatlah ketika Nabi SAW membicarakan suatu rahasia kepada (Hafsah) salah seorang dari istri-istri beliau... (QS Al-Tahrim [66]: 3).

Dari ayat-ayat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kata hadis telah dipergunakan di dalam Al-Qur'an dengan pengertian cerita, komunikasi, atau pesan, baik dalam konteks religius atau duniawi, dan untuk masa lalu atau masa kini.

Kata hadis dalam pengertian seperti yang disebutkan di atas juga dijumpai pada beberapa pernyataan Rasul SAW seperti:

1. Dalam pengertian komunikasi religius
(Semoga) Allah membaguskan rupa seseorang yang mendengar sesuatu (Hadis) dari kami dan dihafalnya. serta selanjutnya disampaikannya (kepada orang lain). Boleh jadi orang yang menyampaikan lebih hafal dari yang mendengar. (HR Ibn Majah dan Tirmidzi)

Sesungguhnya hadis (pembicaraan) yang paling baik adalah Kitab Allah (A1-Qur'an) .. (HR Al Bukhari).

2. Pembicaraan atau cerita duniawi dan yang bersifat umum
"Siapa yang mencoba untuk mengintip (mendengar secara sembunyi) pembicaraan sekelompok orang dan mereka tidak menginginkan hal tersebut serta berusaha untuk menghindar darinya, maka besi panas akan disumbatkan ke telinganya di hari kiamat. (HR Bukhari dan Tirmidzi)."

3. Cerita masa lalu atau sejarah
Dan sampaikanlah cerita tentang Bani Israil.... (HR Tirmidzi).

4. Cerita aktual atau percakapan rahasia
Apabila seseorang menyampaikan suatu pembicaraan (yang bersifat rahasia) kemudian dia pergi, maka perkataannya itu adalah amanah. (HR Tirmidzi).

Beberapa contoh di atas telah menjelaskan bahwa kata hadis mengandung pengertian cerita atau percakapan. Pada awal Islam, cerita dan pembicaraan Rasul SAW (Hadis) selalu mendominasi dan mengatasi pembicaraan yang lainnya, oleh karenanya kata hadis mulai dipergunakan secara khusus untuk menjelaskan perkataan atau sabda Rasul SAW.

Menurut Shubhi al-Shalih, kata hadis juga merupakan bentuk isim dari tahdits, yang mengandung arti: memberitahukan, mengabarkan. Berdasarkan pengertian inilah, selanjutnya setiap perkataan, perbuatan, atau penetapan (taqrir) yang disandarkan kepada Nabi SAW dinamai dengan Hadis.
Hadis secara terminologis, menurut Ibn Hajar, berarti:

"Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW."

Definisi di atas masih umum sekali, karena belum dijelaskan batasan sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW tersebut. Definisi yang lebih terperinci, adalah:

"Segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat."

Imam Taqiyyuddin ibn Taimiyyah mengemukakan definisi yang lebih sempit lagi dengan memberi batasan bahwa Hadis tersebut adalah:

"Seluruh yang diriwayatkan dari Rasul SAW sesudah kenabian beliau, yang terdiri atas perkataan, perbuatan, dan ikrar beliau."

Dengan definisi di atas Ibn Taimiyyah memberikan batasan, bahwa yang dinyatakan sebagai Hadis adalah sesuatu yang disandarkan kepada Rasul SAW sesudah beliau diangkat menjadi Rasul, yang terdiri atas perkataan, perbuatan, dan taqrir. Dengan demikian, maka sesuatu yang disandarkan kepada beliau sebelum beliau diangkat menjadi Rasul, bukanlah Hadis.

Menurut Ulama Ushul Fiqh, yang dimaksud dengan Hadis adalah apa yang disebut mereka dengan Sunnah qawliyyah, yaitu:

"Seluruh perkataan Rasul SAW yang pantas untuk dijadikan dalil dalam penetapan hukum syara."

Hal tersebut adalah, karena Sunnah, dalam pandanangan mereka, adalah lebih umum daripada Hadis. Pengertian mereka tentang Sunnah adalah meliputi perkataan perbuatan, dan taqrir (pengakuan atau persetujuan) Rasul SAW yang dapat dijadikan dalil dalam merumuskan hukum syara'.

Dari pandangan para ahli Ushul Fiqh tentang Sunnah di atas terlihat bahwa ada persamaan antara pengertian Sunnah menurut definisi mereka dengan Hadis dalam pengertian Ulama Hadis, kecuali Ulama Ushul Fiqh menekankannya dari segi fungsinya sebagai dalil hukum syara'.

Istilah Hadis sering juga disinonimkan dengan Sunnah, Khabar, dan Atsar. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan tentang istilah-istilah tersebut.

Sunnah

Sunnah secara etimologis

"Jalan yang lurus dan berkesinambungan, yang baik atau yang buruk."

Contoh dari pengertian Sunnah di atas di antaranya adalah ayat Al-Qur'an surat Al-Kahfi: 55,

وَمَا مَنَعَ النَّاسَ اَنۡ يُّؤۡمِنُوۡۤا اِذۡ جَآءَهُمُ الۡهُدٰى وَيَسۡتَغۡفِرُوۡا رَبَّهُمۡ اِلَّاۤ اَنۡ تَاۡتِيَهُمۡ سُنَّةُ الۡاَوَّلِيۡنَ اَوۡ يَاۡتِيَهُمُ الۡعَذَابُ قُبُلًا

"Dan tidak ada sesuatu pun yang menghalangi manusia dari beriman, ketika petunjuk telah datang kepada mereka, dan memohon ampun kepada Tuhannya, kecuali datang kepada mereka (seperti) jalan (kehidupan) umat-umat terdahulu, atau datangnya azab atas mereka dengan nyata."

Di dalam Hadis juga terdapat kata sunnah dengan pengertiannya secara etimologis di atas, seperti yang

diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahih-nya sebagai berikut:

Bahwa Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang merntis suatu jalan yang baik, maka ia akan memperoleh pahalanya dan juga pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya; tidak mengurangi yang demikian itu akan pahala mereka sedikit pun. Dan siapa yang merirntis jalan yang buruk, ia akan menerima dosanya, dan juga dosa orang yang mengamalkannya tanpa mengurangi dosanya sedikit pun. (HR Muslim, Ibru Majah, dan Al-Darami).

Berdasarkan contoh-contoh di atas, terlihat bahwa pada dasarnya Sunnah tidaklah sama pengertiannya dengan Hadis, karena Sunnah, sesuai dengan pengertiannya secara bahasa, adalah ditujukan terhadap pelaksanaan ajaran agama yang ditempuh, atau praktik yang dilaksanakan, oleh Rasul SAW dalam perjalanan hidupnya, karena Sunnah, secara bahasa, berarti al-thariqah, yaitu jalan jalan kehidupan).

Pengertian Sunnah secara terminologis

Para Ulama berbeda pendapat dalam memberikan definisi Sunnah secara terminologis, sejalan dengan perbedaan keahlian dan bidang yang ditekuni masing-masing. Para ahli Ushul Fiqh mengemukakan definisi yang berbeda dibandingkan dengan definisi yang diberikan oleh para ahli Hadis dan Fugaha'

a. Definisi Ulama Hadis (Muhadditsn)

Menurut Ulama Hadis, Sunnah berarti:

"Sunnah adalah setiap apa yang ditinggalkan (diterima) dari Rasul SAW berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat fisik atau akhlak, atau perikehidupan, baik sebelum beliau diangkat mernjadi Rasul, seperti tahannuts yang beliau lakukan di Gua Hira', atau sesudah kerasulan beliau."

Sunnah dalam pengertian Ulama Hadis di atas, adalah sama (muradi) dengan Hadis. Para Ulama Hadis memberikan definisi yang begitu luas terhadap Sunnah, adalah karena mereka memandang Rasul SAW sebagai panutan dan contoh teladan bagi manusia dalam kehidupan ini, seperti yang dijelaskan Allah SWT didalam Al-Qur'an al-Karim,

"bahwa pada diri (kehidupan) Rasul SAW itu adalah uswatun hasanah bagi umat Islam." (QS Al-Ahzab: 21).

Dengan demikian, para Ulama Hadis mencatat seluruh yang berhubungan dengan kehidupan Rasul SAW, baik yang mempunyai kaitan langsung dengan hukum syara' ataupun tidak.

b. Pengertian Sunnah menurut Ulama Ushul Fiqh

Ulama Ushul Fiqh memberikan definisi Sunnah sebagai berikut:

"Sunnah adalah seluruh yang datang dari Rasul SAW selain Al-Qur'an al-karim, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir, yang dapat dijadikan sebagai dalil untuk menetapkan hukumn syara."

Melalui definisi di atas terlihat bahwa para Ulama Ushul Fiqh membatasi pengertian Sunnah pada sesuatu yang datang dari Rasul SAW selain Al-Qur'an yang dapat dijadikan dalil dalam penetapan hukum syara'. Mereka berpendapat demikian adalah karena mereka memandang Rasul SAW sebagai Syari', yaitu yang merumuskan hukum dan yang menjelaskan kepada umat manusia tentang peraturan-peraturan (hukum-hukum) dalam kehidupan ini, dan memberikan kaidah-kaidah hukum untuk dipergunakan dan dipedomani kelak oleh para mujtahid dalam merumuskan hukum setelah beliau tiada.

C. Sunnah menurut Ulama Fiqh (Fuqaha)

Ulama Fiqh mendefinisikan Sunnah sebagai berikut:

"Yaitu, setiap yang datang dari Rasul SAW yang bukan fardu dan tidak pula wajib."

Ulama Fiqh mengemukakan definisi seperti di atas adalah karena sasaran pembahasan mereka ialah hukum syara' yang berhubungan dengan perbuatan mukalaf, yang terdiri atas: wajib, haram, mandub (sunnah), karahah, dan mubah.

Apabila para Fuqaha' mengatakan sesuatu perbuatan itu adalah Sunnah, maka hal tersebut berarti, bahwa perbuatan tersebut dituntut oleh syara' untuk dilaksanakan oleh para mukalaf dengan tuntutan yang tidak pasti atau tidak wajib.

Dari definisi Hadis dan Sunnah di atas, selain definisi versi para Fuqaha, secara umum kedua istilah tersebut adalah sama, yaitu bahwa keduanya adalah sama-sama disandarkan kepada dan bersumber dari Rasul SAW. Perbedaan hanya terjadi pada tinjauan masing-masing dari segi fungsi keduanya.
Ulama Hadis menekankan pada fungsi Rasul SAW sebagai teladan dalam kehidupan ini, sementara Ulama Ushul Figh memandang Rasul SAW sebagai Syari', yaitu sumber dari hukum Islam.

Di kalangan mayoritas Ulama Hadis sendiri, terutama mereka yang tergolong muta'akhkhirin, istilah Sunnah sering disinonimkan dengan Hadis. Mereka sering mempertukarkan kedua istilah tersebut didalam pemakaiannya.

Istilah Sunnah di kalangan Ulama Hadis dan Ulama Ushul Fiqh kadang-kadang dipergunakan juga terhadap perbuatan para Sahabat, baik perbuatan tersebut dalam rangka mengamalkan isi atau kandungan Al-Qur'an dan Hadis Nabi SAW ataupun bukan. Hal tersebut adalah seperti perbuatan Sahabat dalam mengumpulkan Al-Qur'an menjadi satu Mushhaf. Argumen mereka dalam penggunaan tersebut adalah sabda Rasul SAW yang berbunyi:

"...Hendaklah kamu berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah Khulafa' al-Rasyidin..."

Khabar

Khabar menurut bahasa berarti al-naba', yaitu berita.

Sedangkan pengertiannya menurut istilah, terdapat tiga pendapat, yaitu:

a. Khabar adalah sinonim dari Hadis, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir, dan sifat.

b. Khabar berbeda dengan Hadis. Hadis adalah sesuatu yang datang dari Nabi SAW, sedangkan Khabar adalah berita dari selain Nabi SAW. Atas dasar pendapat ini, maka seorang ahli Hadis atau ahli Sunnah disebut dengan Muhaddits, sedangkan mereka yang berkecimpung dalam kegiatan sejarah dan sejenisnya disebut dengan Akhbari.

c. Khabar lebih umum daripada Hadis. Hadis adalah sesuatu yang datang dari Nabi SAW, sedangkan Khabar adalah sesuatu yang datang dari Nabi SAW atau dari selain Nabi (orang lain).

Atsar

Atsar secara etimologis berarti baqiyyat al-syay', yaitu sisa atau peninggalan sesuatu.
Sedangkan pengertiannya secara terminologis, terdapat dua pendapat, yaitu:

a. Atsar adalah sinonim dari Hadis, yaitu segala sesuatu yang berasal dari Nabi SAW.

b. Pendapat kedua menyatakan, Atsar adalah berbeda dengan Hadis. Atsar secara istilah menurut pendapat kedua ini adalah:

"Sesuatu yang disandarkan epada Sahabat dan Tabi'in, yang terdiri atas perkataan atau perbuatan."

Jumhur Ulama cenderung menggunakan istilah Khabar dan Atsar untuk segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dan demikian juga kepada Sahabat dan Tabi'in. Namun, para Fuqaha' Khurasan membedakannya dengan mengkhususkan al-mawquj, yaitu berita yang disandarkan kepada Sahabat dengan sebutan Atsar ; dan al-marfu', yaitu segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW dengan istilah Khabar.