
Kenikmatan Allah Yang Datang dan Hilang
Kenikmatan Allah Yang Datang dan Hilang

Allah SWT menyuruh kita agar tidak bersedih jika kehilangan kenikmatan. Dan juga tidak berlebih kegembiraan jika merasakan kenikmatan.
Firman Nya:
"Supaya kamu jangan berdukacita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu tidak terlalu gembira terhadap apa yang diberikan Nya kepadamu". (AL-Hadid 23).
Tetapi, kebanyakan manusia susah memegang ayat itu, kenapa ?
"Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir, Apabila ia ditimpa kesusahan, ia berkeluh kesah. Dan apabila in mendapat kebaikan, ia amat kikir." (Al-Ma'aarij: 19-21)
Kenikmatan datang kepada kita, bisa sebagai ujian, yaitu kenikmatan itu malah merugikan kita. Ini terjadi mungkin karena kita tidak melaksanakan hak Allah. JIka kita mengalami seperti itu, lebih baik menyibuk kan diri kepada hal-hal yang bermanfaat dari pada hanya termenung sedih memikirkannya,
Buat apa mencari pelarian dengan mengerjakan sesuatu yang tidak baik, pada hal, waktu KIta bisa dipergunakan untuk mempersiapkan kegiatan baru sebagai pengganti dari kenikmatan yang hilang itu.
Janganlah berfikir bahwa hilangnya kenikmatan adalah gara-gara peristiwa yang kita tidak ketahui sumbernya, dan karena tidak mampu menolak kedatangannya.
sebaiknya, jika mendapat kenikmatan, kita tetap menjalankan kewajiban dengan melaksanakan hak-hak Allah dan jika kehilangan kenikmatan, anggaplah bahwa itu adalah sesuatu yang sudah lewat,
Ingatkah kita dengan kisah Nabi Ayub, yang dengan Allah SWT ingin mengukuhkan keimanan Nabi Ayub kepada Allah dengan mengijinkan setan untuk menggodanya.
Saat kenikmatan-serta kekayaan Nabi Ayub as. dihancurkan oleh setan, ribuan hektar ladang dan kebun serta lumbung simpanannya musnah. Ditambah lagi dengan anak-anaknya yang musnah mati tebakar hingga Nabi ayub tak memiliki apa-apalagi dan para istrinya pun meninggalkannya. Bahkan tak hanya itu ditambah pula wabah penyakit yang membuat ia terasing dari wilayahnya, dan hanyalah Rahmah istrinya yang setia menemani dibanding istri yang lainnya.
Saat semua telah musnah, berkatalah Nabi Ayub. "Segala sesuatunya adalah milik Allah, adalah wajar jika Allah mengambilnya sewaktu-waktu, dan aku orang yang berserah diri atas ketetapannya." Dan tetaplah ia menjadi orang yang berserah dan ikhlas atas ketetapan takdir Allah.