Pengertian, Hukum Dan Tata Cara Melakukan Sujud Sahwi
Pengertian, Hukum Dan Tata Cara Melakukan Sujud Sahwi - Para ulama dari seluruh mazhab sepakat bahwa orang yang meninggalkan salah satu kewajiban shalat dengan sengaja maka shalatnya menjadi batal. Sujud sahwi dilakukan ketika lupa akan rukun dan sunnah didalam shalat, maka orang tersebut harus menggantikannya dengan sujud sahwi.
Sabda Rasulullah saw, Dari Ibnu Mas'ud:
"Sesungguhnya Nabi saw telah sembahyang dhuhur lima raka'at, maka ditanya orang kepada beliau: Adakah beliau sengaja melebihkan sembahyang beliau? Jawab beliau tidak, mereka yang melihat beliau sembahyang berkata: Engkau telah sembahyang lima raka'at. Mendengar keterangan mereka yang demikian maka beliau terus sujud dua kali." (HR. Bukhari dan Muslim).
Sabda Rasulullah saw: "Dari Al-Mughirah, telah berkata Rasulullah saw:
Apabila salah seorang kamu berdiri sesudah dua raka'at tetapi ia belum sampai sempurna berdiri, maka hendaklah ia duduk kembali (untuk tasyahud pertama) dan jika ia sudah berdiri betul maka ia jangan duduk kembali dan hendaklah ia sujud dua kali (sujud sahwi)." (HR. Ahmad).
Sujud sahwi
Pengertian Sujud sahwi, ialah sujud yang dilakukan karena lupa baik didalam rukun maupun sunnah-sunnah shalat. Waktu mengerjakannya terdapat beberapa bagian karena beberapa hal :
Waktu Pengerjaan Sujud Sahwi
Lupa salah satu rukun
Apabila ada salah satu rukun atau fardhu shalat yang ketinggalan atau lupa tidak dikerjakan, jika teringat sebelum mengerjakan rukun seperti itu pada raka'at berikutnya, maka wajib kembali mengulangi rukun yang ketinggalan itu. Kemudian terus menyempurnakan shalatnya dan sebelum salam disunnatkan sujud sahwi.
Teringat akan rukun Yang tertinggal
Jika orang yang mengerjakan shalat itu ingat akan rukun yang kelupaan, sedangkan ia sudah mengerjakan rukun yang serupa pada raka'at berikutnya, maka raka'at yang sesudahnya itulah sebagai pengganti daripada raka'at yang ketinggalan, kemudian terus menyempurnakan shalatnya dan disunatkan sujud sahwi sebelum salam.
Lupa Mengerjakan Sunnat ab'adh
Apabila lupa tidak mengerjakan salah satu daripada sunnat-sunnat ab'adh, kemudian teringat akan sunnat yang ditinggalkan itu, maka ia tidak usah kenmbali pada sunnat yang ketinggalan itu, tetapi sebelum salam sunnat sujud sahwi.
Ragu Jumlah Rakaat
Apabila ada yang lupa atau ragu akan jumlah raka'at shalat yang sedang ia kerjakan, misalnya apakah sudah tiga raka'at atau masih dua raka'at, sudah empat raka'at atau masih tiga raka'at, maka hendaklah ia mengambil jumlah bilangan yang yakin, yakni yang sedikit, kemudian terus menyempurnakan shalatnya dan sebelum salam sunnat sujud sahwi.
"Dari Abu Sa'id Al-Khudri, berkata Nabi saw: Apabila salah seorang kamu ragu dalam sembahyang, apakah ia sudah mengerjakan tiga atau empat, maka hendaklah dilhilangkannya keraguan itu dan diteruskannya sembahyangnya menurut yang diyakini, kemudian in sujud, dua kali sebelum salam." (HR. Ahmad dan Muslim).
Bila Teringat setelah Salam
Jika seseorang telah selesai mengucapkan salam, kemudian ia teringat atau ada orang lain yang mengingatkan bahwa shalatnya kurang, maka hendaknya ia bangun kembali dan menambah shalatnya sebagai ganti daripada kekurangan tersebut. Dan sebelum salam sunnat sujud sahwi.
Sabda Rasulullah saw:
"Dari Abu Hurairah, berkata dia: telah sembahyang Rasulullah saw bersama kami ialah sałah satu kedua sembahyang siang (dhulhur atau 'ashar), baru dua raka'at beliau sembahyang lantas beliau memberi salam. Mereka bertanya: adakah diqasar sembahyangmu atau engkau lupa?
Jawab Rasulullah saw sembahyang saya tidak diqasar dan saya tidak pula luipa. Mereka menjawab: betul, salah satu terjadi: Lantas beliau menghadap ke qiblat, beliau sembahyangkan kembali yang kurang itu, kemudian beliau memberi salam. Sesudah itu beliau sujud seperti sujud beliau yang biasa atau lebih panjang." (HR. Mutafaqun Alaih).
Rakaat Lebih sebelum Salam
Apabila ada seseorang yang teringat bahwa shalatnya lebih, dan belum salam; maka sebelum salam, sunnat sujud sahwi
Saat Imam Melakukan Sujud Sahwi
Jika imam mengerjakan sujud sahwi, maka ma'mum harus mengikuti imamnya, yakni ikut sujud sahwi meskipun tidak tahu sebabnya.
Lupa Sunnat hai'at
Apabila ada seseorang yang lupa yakni tidak mengerjakan salah satu dari sunnat-sunnat hai'at, maka tidak usah mengulangi dan tidak perlu sujud sahwi. Ada suatu pendapat yang mengatakan, bahwa tidak ada perbedaan antara sunnat-sunnat lhai'at dan sunnat sunnat ab'adh dalam hal sujud sahwi, kedua-duanya disunnatkan sujud sahwi. Mengingat sebuah hadits yang menyebutkan:
"Bagi tiap-tiap kelupaan itu, dua sujud." (H.R. Abu Daud dari Tsauban; Subulus Salam I: 285).
Cara Mengerjakan Sujud Sahwi
Cara mengerjakan sujud sahwi, sebagaimana dua sujud biasa, yakni dengan takbir antara dua sujud. Waktunya sesudah tahiyat akhir sebelum salam. Adapun bacaannya:
"Maha suci Tuhan Yang tidak tidur dan tidak lupa."
Rasulullah saw bersabda:
"Apabila salah seorang di antara kalian ada yang ragu dalam shalatnya, maka hendaklah ia berusaha mencari yang lebih benar, dan hendaklah in menyempurnakan shalatnya itu menurut yang benar, kemudian ia bersalam, Dan sesudah itu ia bersujud dua sujud." (HR. Bukhari Muslim; Subulus Salam 1: 282)
Dalam hadits lain Rasulullah saw bersabda:
"Apabila salah seorang di antara kalian ada yang ragu, ia tidak mengetahui apakah ia baru melaksanakan shalat seraka'at atau sudah dua raka'at, maka hendaklah ia menjadikannya satu raka'at saja. Jika ia tidak mengetalui, apakah sudah melaksanakan shalat dua raka'at atau sudah tiga raka'at, maka hendaklah ia menjadikannya dua raka'at saja. Jika ia tidak mengetahui lagi; apakah telah melaksanakan shalat tiga raka'at atau sudah empat raka'at. maka hendaklah ia menjadikannya tiga raka'at saja. Kemudian apabila telah selesai melaksanakan shalatnya, hendaklah ia sujud dua kali dalam keadaan duduk sebelum salam." (HR. Ahmad; Subulus Salam I:282).
Menurut Imam Hanafi
Menurut Imam Hanafi: sujud sahwi itu adalah dua kali sujud, membaca Tasyahud dan memberi salam, kemudian membaca shalawat atas Nabi saw. serta membaca doa.
Letak sujud sahwi menurut mazhab ini adalah sesudah salam, dengan syarat waktunva masih luas. Apabila seseorang lupa sesuatu kewajiban shalat dalam Shalat Shubuh misalnya, kemudian matahari terbit sebelum ia melakukan sujud sahwi maka manjadi gugurlah keharusannya melakukan sujud sahwi itu. Adapun sebab-sebab sujud sahwi itu adalah apabila orang meninggalkan kewajiban shalat, atau menambahkan rukun shalat seperti ruku dan sujud. Jika ia lupa berkali-kali, maka cukup baginya dua kali sujud saja, sebab mengulangi sujud sahwi itu tidak digariskan dalam mazhab mereka. Dan kalau seseorang lupa dalam sujud sahwinya, maka tidak ada sujud sahwi baginya. Demikian disebutkan dalam kitab Majma'ul Anhar, Jilid I, bab sujud sahwi.
Menurut Imam Maliki
Sementara itu menurut Imam Maliki: Sujud sahwi itu jumlahnya dua kali sujud, yang diakhiri dengan pembacaan tasyahhud tanpa doa dan shalawat atas Nabi saw. Adapun letak sujud sahwi menurut mazhab Maliki harus diperhatikan, jika karena kekurangan saja atau karena kekurangan dan kelebihan bersamaan, maka letaknya adalah sebelum salam. Dan kalau karena kelebihan saja, maka letaknya sesudah salam.
Juga harus diperhatikan sebab-sebab yang mengharus kan sujud sahwi itu. Jika kelupaan itu dalam hal kekurangan dan yang ditinggalkan itu sunnah mustahabbah, maka harus dilakukan sujud sahwi. Dan jika yang ditinggalkan itu adalah Salah satu dari kewajiban shalat, maka tidak dapat digantikan dengan sujud sahwi, tetapi harus dikerjakan kewajiban yang sama. Dan jika lupanya itu karena lebih mengerjakan sesuatu rukun shalat. misalnya menambah satu atau dua ruku', atau menambah satu atau dua raka'at, maka itu boleh diganti dengan sujud sahwi.
Menurut Hambali
Adapun menurut Hambali: Sujud sahwi boleh dilakukan sebelum dan sesudah salam. Jumlahnya dua kali sujud dengan diakhiri tasyahhud dan salam. Sebab dilakukannya sujud sahwi itu, menurut mazhab Hambali, adalah karena kelebihan, kekurangan atau keraguan.
Yang dimaksud dengan kelebihan di sini adalah seperti kalau orang menambah qiyam (tegak) atau qu'ud (duduk).
Orang yang duduk, padahal seharusnya ia berdiri, atau ia berdiri padahal seharusnya ia duduk, maka ia harus melakukan sujud sahwi. Adapun dalam hal kekurangan, maka ia mempunyai amliah (tata cara) tersendiri dalam mazhab mereka. Yaitu, jika seseorang ingat bahwa ia telah lupa melakukan salah satu rukun atau kewajibkan shalat sebelum ia memulai pembacaan al-Fatihah pada raka'at berikutnya maka ia harus mengulang apa yang ia lupakan tersebut dan kemudian melakukan sujud salwi. Tetapi kalau ia tidak ingat hingga ia selesai membaca al-Fatihah pada raka'at berikutnya, maka raka'at ini dianggap menggantikan raka'at sebelumnya yang digugurkan, kemudian sujud sahwi.
Sebagai contoh: Seseorang lupa tidak ruku' pada raka'at pertama dan setelah sujud baru diingatnya. Dalam kasus ini, ia harus ruku' baru kemudian mengulang Sujud:
Tetapi jika ia baru ingat sesudah masuk ke raka'at kedua dan telah membaca al-Fatihah, maka raka'at pertama tadi dianggap gugur, dan raka'at kedua ini menjadi raka'at pertama.
Sedangkan keraguan yang mengharuskan sujud sahwi itu contohnya adalah sebagai berikut: Seseorang merasa ragu-ragu dalam meninggalkan ruku' atau jumlah raka'at, maka dalam kasus ini, ia harus menetapkan atas dasar yang lebih meyakinkan dan kemudian melakukan apa yang diragukannya.
Sesudah selesai shalat dengan sempurna, barulah ia melakukan sujud sahwi. Cukup dua kali sujud saja untuk semua kelupaan, walaupun yang menyebabkannya berbilang. Sebab menurut mereka, tidak ada sujud sahwi karena banyak lupa. Maksudnya, cukup satu sujud sahwi saja untuk lupa yang banyak.
Menurut Imam Syafi'i
Menurut Imam Syafi'i: Waktu sujud sahwi adalah sesudah tasyahhud dan shalawat atas Nabi saw dan sebelum salam. Adapun sifatnya adalah sama seperti mazhab-mazhab terdahulu. Sedangkan sebabnya adalah karena meninggalkan sunnah muakkadah, atau menambah sedikit perkataan, atau menambah bacaan al-Fatihah karena lupa, atau karena mengikuti orang yang dalam shalatnya ada kekurangan, atau karena ragu-ragu dalam jumlah raka'at, atau meninggalkan bagian tertentu.
Tak ketinggalan pula kita bisa menyimak pendapat madzhab Imamiyah. Imamiyah telah membedakan antara hukum ragu-ragu dan hukum alpa (lupa) itu. Mereka mengatakan: Keragu-raguan dalam af'al shalat tidaklah diperhatikan jika terjadi setelah selesai mengerjakan shalat, juga terhadap keraguan Makmum dalam jumlah raka'at dengan keyakinan Imam, dan keraguan Imam dengan keyakinan Makmum, itu semua dikembalikan kepada apa yang diingat oleh yang lain. Dan tidak pula diperhatikan keraguan yang baik, dan keraguan dalam salah satu af'al shalat setelah masuk kepada af'al lainnya yang berurutan dengannya.
Apabila seseorang ragu-ragu dalam hal pembacaan al-Fatihah, sedang ia sudah mulai membaca surat; atau ragu- ragu dalam ruku' sedang ia telah sujud, nmaka dalam semua kasus ini ia harus meneruskan shalatnya dan tidak perlu memerhatikannya. Adapun jika ia ragu-ragu sebelum masuk af'al (perbuatan) berikutnya, maka wajib atasnya melakukan apa yang ia ragukan itu. Orang yang ragu-ragu, apakah sudah membaca surat al-Fatihah atau belum, dan itu diingatnya sebelum ia memulai membaca surat, maka dalam hal ini ia harus membaca al-Fatihah. Begitu juga kalau ia lupa membaca surat sebelum ruku', maka ia harus membacanya.
Sedangkan sujud sahwi itu dilakukan untuk semua kelebihan dan kekurangan selain dari membaca dengan suara keras (jahar) di kala seharusnya membaca pelan (ikhfat), atau membaca dengan pelan ketika seharusnya membaca dengan keras, maka keduanya ini tidak diharuskan sujud sahwi. Begitulah juga rukun shalat, karena kelebihan atau kekurangan dalam rukun itu membatalkan shalat, baik karena lupa maupun sengaja.
Adapun rukun shalat menurut mereka ada lima: Niat, takbiratul ihram, qiyam (berdiri), ruku', kedua sujud dalam satu raka'at.
Semua bagian shalat yang tirnggal karena lupa, tidak wajib diperbaiki sesudah shalat kecuali sujud dan tasyakhud. Yang mana keduanya itu wajib di-qadha' (diulang) dengan dilaksanakan sesudah shalat dan kemudian melakukan sujud sahwi. Sifat sujud sahwi menurut mereka adalah dua kali sujud, dan dalam sujud itu membaca:
بِسْمِ اللهِ وَبِاللهِ اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَالِ مُحَمَّدٍ
Bismillaahi wa billaahi allahumma sholli 'alaa muhammadin wa aali muhammadin
Kemudian membaca tasyahhud dan memberi salam. Sujud sahwi wajib dilakukan beberapa kali dengan beberapa sebab yang mengharuskannya. Dan bagi orang yang pelupa, tidak wajib melakukan sujud sahwi, begitu juga orang yang lupa dalam sujud sahwinya.
Masih terkait erat dengan pembahasan kita kali ini, mari kita simak pula beberapa pendapat tentang hukum orang yang ragu-ragu dalam jumlah raka'at shalat yang sedang dilakukannya. Imam Syafi'i, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa: Apabila seseorang merasa ragu-ragu dalam jumlah raka'at yang dikerjakannya, ia tidak tahu sudah berapa raka'at yang dikerjakan, maka hendaklah ditetapkannya atas dasar yang lebih meyakinkan, yaitu yang Jumlahnya paling sedikit; kemudian menyempurnakan shalat dengan sisa raka'at yang belum dikerjakan
Keraguan Menurut Imam Hanafi
Menurut Imam Hanafi: Jika keraguannya dalam shalat ltu merupakan yang pertama kali dalam hidupnya, maka la harus mengulangi shalat itu dari permulaan. Dan kalau sebelumnya ia pernah ragu-ragu dalam shalatnya, maka hendaklah direnungkannya sejenak, dan kemudian melakukan menurut persangkaannya yang lebih kuat. Jika masih tetap ragu-ragu, maka ia harus menetapkan atas jumlah yang lebih sedikit, karena yang demikian lebih meyakinkan.
Menurut Imamiyah
Sementara itu menurut pendapat Imamiyah: Jika keragu-raguan itu timbul pada shalat-shalat yang jumlahnya dua raka'at, seperti Shalat Shubuh, shalat Musafir, shalat Jum'at, Shalat 'ldain (dua hari raya), Shalat Gerhana, atau pada Shalat Maghrib, atau pada dua raka'at pertama pada shalat-shalat yang jumlahnya empat raka'at, yaitu Isya, Dhuhur dan Ashar, maka shalatnya menjadi batal dan harus diulang dari permulaan. Namun kalau keragu-raguan itu timbul pada dua raka'at terakhir pada shalat ruba'iyah (yang jumlahnya empat raka'at), maka hendaklah dikerjakan shalat ihtiyath setelah menyelesaikan shalat dan sebelum melakukan hal-hal lain.
Contoh: Seseorang merasa ragu-ragu antara dua raka'at dan tiga raka'at, sesudah menyelesaikan dua sujud, maka ia harus menetapkan atas jumlah yang lebih banyak, dan menyempurnakan shalat, kemudian shalat ihtiyath dua raka at sambil duduk, atau satu raka'at sambil berdiri. Jika ia ragu-ragu antara tiga raka'at dan empat raka'at, maka ia harus menetapkan empat raka'at, lalu ia sempurnakan shalatnya, kemudian mengerjakan shalat ihtiyath satu raka'at sambil berdiri, atau dua raka'at sambil duduk. Jika ia ragu-ragu antara dua raka'at dan empat raka'at, rnaka hendaklah ditetapkannya empat raka'at, kemudian ia kerjakan shalat ihtiyath dua raka'at sambil berdiri. Dan jika ragu-ragu antara dua raka'at, tiga raka'at dan empat raka'at, maka hendaklah ditetapkannya empat raka'at, kemudian ia kerjakan shalat ihtiyath dua raka'at sambil berdiri dan dua raka'at sambil duduk.
Mereka memberi alasan untuk menjaga hakikat shalat dan menghindarkan penambahan dan pengurangan dalam shalat. Jelasnya adalah seperti yang disebutkan dalam contoh berikut: Orang yang merasa ragu-ragu antara tiga raka'at dan empat raka'at, lalu ia menetapkannya empat raka'at, setelah itu ia mengerjakan satu raka'at terpisah setelah selesai shalat. Seandainya shalat yang sudah dikerjakannya itu sempurna, maka satu raka'at terpisah yang ia kerjakan tadi dianggap sebagai nafilah (shalat sunnah).
Dan jika memang shalatnya kurang satu raka'at, maka raka'at terpisah tadi adalah sebagai pelengkapnya. Bagaimanapun, shalatlah dengan cara demikian ini hanya terdapat dalam mazhab Imamiyah.
Tata cara shalat ihtiyath seperti Imamiyah hanya terbatas pada shalat Dhuhur, Ashar dan Isya. Sedangkan untuk shalat-shalat sunnah, orang boleh memilih menetapkan antara yang lebih sedikit atau yang lebih banyak, kecuali bila merusak shalat, seperti kalau orang yang ragu-ragu apakah ia sudah mengerjakan shalat dua raka'at atau tiga raka'at, padahal diketahuinva bahwa shalat sunnah itu hanya dua raka'at, maka dalam hal ini ia harus menetapkan pada yang lebih sedikit.
Memang, yang lebih utama adalah menetapkan pada bilangan yang lebih kecil secara mutlak pada shalat-shalat sunnah. Dan kalau ia merasa ragu-ragu dalam shalat ihtiyath, maka hendaklah ditetapkannya pada yang lebih banyak, kecuali kalau yang lebih banyak itu bisa membatalkan, maka dalam hal ini harus menetapkan pada jumlah raka'at yang lebih sedikit. Sebagian ulama Imamiyah mengatakan hendaknya dipilih antara menetapkan jumlah raka'at yang lebih sedikit dan yang lebih banyak.